BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah dijelaskan bahwa Sesuai
dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas
kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya
saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman
daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Prinsip otonomi
daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi
urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun dalam pelaksanaannya birokrasi
pemerintah daerah sampai saat ini masih jauh dari prinsip demokrasi, pemerataan
dan keadilan bagi masyarakat. Hal ini karena fungsi aparatur daerah sebagai
subyek dalam melaksanakan kewenangan tersebut cenderung berfungsi sebagai buruh
pabrik, mengejar setoran dari hasil produksi tanpa memperdulikan kondisi dan
tatanan yang ada untuk kepentingan
masyarakat.
Bertitiktolak
dari uraian tersebut diatas, sebagai upaya untuk mengembalikan kondisi birokrasi pemerintahan daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, perlu melakukan reformasi
secara menyeluruh. Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka
teoritik dan empirik yang luas, mencakup didalamnya penguatan masyarakat sipil
(civilsociety), supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan
pembangunan politik yang sating terkait dan mempengaruhi. Dengan demikian,
reformasi birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya
konsolidasi demokrasi kita saat ini.
B.
Identifikasi Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan reformasi birokrasi?
2.
Bagaimana
pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah daerah ?
3.
Apa
yang perlu di reformasi dari birokrasi pemerintah daerah ?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji kembali bagaimana
sebenarnya pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah daerah berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, pembuatan makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam bidang
materi Birokrasi.
D.
Metode Penulisan
Metode penulisan
makalah ini merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menggunakan beberapa metode diantyaranya :
1.
Metode tela’ah buku / studi pustaka, yakni
penulis mencari pokok bahasan dari buku sumber yang relevan dengan pembahasan
yang dikaji.
2.
Internet, yakni media jaringan komunikasi dan
informasi dalam sebuah wahana softwere (web) yang terdapat dalam
aplikasi komputer.
E.
Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan Tugas Akhir, penulis
membuat sistematika dalam 4 Bab yaitu:
Bab I :
Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang, identifikasi dan
perumusan masalah, batasan/ruang lingkup masalah, maksud dan tujuan, metode
penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi teori-teori pendukung penganalisaan dan
pengembangan sistem, yang meliputi: pengembangan sistem, perancangan sistem,
konsep dasar sistem, konsep dasar informasi, konsep dasar sistem informasi,
pengertian UML,PHP penggambaran sistem dengan menggunakan UML,PHP serta
teori-teori lainnya yang digunakan untuk mendukung penganalisaan dan
pengembangan sistem baru yang diusulkan
Bab III : Pembahasan atau Analisis
Bab ini menjelaskan tentang gambaran umum AMIK Wahana
Mandiri, tata laksana sistem yang berjalan, permasalahan yang dihadapi, dan
alternatif pemecahan masalah,diantaranya tata laksana sistem yang diusulkan
menggunakan Unified Modeling Language (UML), desain tampilan sistem yang
diusulkan.
Bab V: Penutup
ini berisi tentang kesimpulan hasil analisa dan
rancangan sistem dalam rangka menjawab tujuan penelitian yang diajukan, serta
saran-saran yang penulis berikan untuk lebih memaksimalkan kinerja sistem baru.
Daftar Pustaka
Daftar pusataka ini berisi tentang judul-judul buku,
artikel-artikel yang terkait dalam laporan ini
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Birokrasi.
1. Pengertian
Birokrasi.
Pengertian birokrasi dikalangan masyarakat sering dihubungan dengan
ketidakpuasan, rumit, bertele-tele dan
banyak lagi perkataan-perkataan yang dilotarkan oleh sebagai masyarakat yang
merasa kecewa atas pelayanan suatu birokrasi yang mereka alami.
Jika dilihat dari segi bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata
yaitu biro yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Birokrasi
memiliki dua elemen utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu peraturan atau
norma formal dan hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah
kekuasaan yang bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau
undang-undang dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Secara
etimologi birokrasi berasal dari istilah “buralist” yang dikembangkan oleh
Reineer von Stein pada 1821, kemudian menjadi “bureaucracy” yang akhir-akhir
ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersonal dan leglistik
(Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002).
Menurut Ferrel Heady ada 3
(tiga) pendekatan dalam merumuskan birokrasi yaitu :
a. Pendekatan
struktural. Menurut pendekatan
ini birokrasi sebagai suatu susunan yang terdiri dari hierarki otorita dan
pembagian kerja yang amat terperinci (Victor Thonson);
b. Pendekatan
Perilaku(Behavioral). Menurut pendekatan ini menekankan arti pentingnya
objektivitas, pemisahan, ketepatan dan konsistensi yang dikaitkan dengan ukuran
fungsional dari pejabat administrasi. Dengan kata lain, perilaku positif lekat
dengan pencapaian tujuan organisasi birokratik;
c. Pendekatan
Pencapaian Tujuan. Menurut
pendekatan ini birokrasi sebagai suatu organisasi yang memaksimalkan efisiensi
dalam administrasi atau satu metode pelembagaan perilaku sosial yang
terorganisasi dalam kerangka usaha mencapai efisiensi administrasi.
2. Ciri
organisasi Birokrasi.
Pemerintah daerah tidak mungkin
berhasil mencapai tujuan untuk mensejahterakan masyarakat tanpa menggunakan
organisasi birokratik. Menurut H. Wrong setiap organisasi birokratik mempunyai
ciri struktural utama sebagai berikut :
a.
Pembagian
tugas;
b.
Hierarki
otorita;
c.
Peraturan
dan ketentuan yang terperinci;
d.
Hubungan
impersonal di antara anggota organisasi.
Sedangkan Max Weber memberikan 6 (enam) ciri dari organisasi
birokrasi yaitu :
a. Terdapat prinsip
yang pasti dan wilayah yurisdiksi yang resmi, yang pada umumnya diatur dengan
hukum atau peraturan-perataran administrasi;
b. Terdapat prinsip
hierarki dan tingkat otorita yang mengatur sistem.
c. Manajemen
didasarkan atas dokumen-dokumen yang dipelihara dalam bentuk aslinya;
d. Terdapat
spesialisasi dan pengembangan pekerja melalui latihan keahlian;
e. Aktivitas
organisasi menurut kapasitas anggota secara penuh;
f. Berlakunya
aturan-aturan main mengenai manajemen.
3. Pentingnya
Birokrasi.
Bahwa proses kebijaksanaan pemerintah terdiri dari formulasi,
implementasi, evaluasi dan terminasi, yang kesemuanya itu merupakan proses dari
suatu birokrasi, sehingga birokrasi mempunyai andil dan keterlibatan yang besar
dalam pembuatan keputusan.
Robert Presthus memperlihatkan peranan birokrasi dalam pebuatan
keputusan dalam hal-hal sebagai :
a. Pembuatan peraturan
dibawah peraturan perundang-undangan (delegated legislation);
b. Pemrakarsa
kebijaksanaan (bureaucracy’s role in initiating policy);
c. Hasrat Intenal
birokrasi untuk memperoleh kekuasaan, keamanan dan kepatuhan (bureaucracy’s
internal drive for power security, and loyalty).
B.
Reformasi.
Reformasi memiliki interpretasi yang berbeda-beda tergantung pada
konteks dari reformasi tersebut. Namun secara umum reformasi dapat diartikan
sebagai pembaruan dengan melakukan
perubahan menuju arah yang lebih baik karena terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dalam sistem yang ada.
Reformasi dapat berupa perubahan total yang radikal tau bisa
diidentikkan dengan revolusi ataupun dapat berupa perubahan yang secara
bertahap. Hal ini tergantung dari objek yang akan direformasi. Apabila
kerusakan dan penyimpangan yang terjadi sudah sangat kronis maka reformasi
harus dilakukan secara radikal. Namun apabila penyimpangan yang terjadi
dipandang masih ringan maka tidak diperlukan reformasi yang radikal.
1. Reformasi
Birokrasi.
Sebuah negara, dalam mencapai tujuannya, pastilah memerlukan
perangkat negara yang disebut pemerintah dan pemerintahannya. Pemerintah pada
hakikatnya adalah pemberi pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya
persoalan yang dihadapi oleh negara, maka telah terjadi pula perkembangan
penyelenggaraan pemerintahan. Karena itu, diperlukan adanya rangka pemerintahan
yang kuat untuk menghadapi dinamika perkembangan masyarakat.
Reformasi birokrasi adalah salah satu cara untuk membangun
kepercayaan rakyat. Pengertian dari reformasi birokrasi itu sendiri adalah
suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah
struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Ruang
lingkup reformasi birokrasi tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur,
tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah
laku. Hal ini berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan
wewenang dan kekuasaan.
2. Tahap Tahap Reformasi Birokrasi yang
ideal.
Mengutip
definisi yang diajukan Fauziah Rasad dari Masyarakat Transparansi Indonesia
(MTI), reformasi birokrasi adalah
perubahan radikal dalam bidang sistem pemerintahan. Agar reformasi
birokrasi dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkah-langkah manajemen
perubahan.Manajemen perubahan adalah proses mendiagnosis, menginisialisasi,
mengimplementasi, dan mengintegrasi perubahan individu, kelompok, atau organisasi
dalam rangka menyesuaikan diri dan mengantisipasi perubahan lingkungannya agar
tetap tumbuh, berkembang, dan menghasilkan keuntungan. Ada tujuh langkah
manajemen perubahan yang dikutip dari Harvard Business Essentials tahun 2005
yaitu :
a. Langkah
pertama, memobilisasi energi dan komitmen para anggota organisasi melalui
penentuan cita-cita, tantangan, dan solusinya oleh semua anggota organisasi.
Pada tahap ini, setiap lini dalam instansi pemerintah harus tahu apa yang
dicita-citakan instansi, apa yang mereka hadapi, dan cara menghadapi atau
menyelesaikan masalah itu secara bersama-sama. Agar mereka tergerak untuk
menjalankan solusi bersama, mereka perlu dilibatkan dalam diskusi dan
pengambilan keputusan;
b. Langkah
kedua, mengembangkan visi bersama, bagaimana mengatur dan mengorganisasi
diri maupun organisasi agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan;
c. Langkah
ketiga, menentukan kepemimpinan. Di dalam instansi pemerintahan,
kepemimpinan biasanya dipegang para pejabat eselon. Padahal, kepemimpinan harus
ada pada semua level agar dapat mengontrol perubahan. Pemimpin tertinggi harus
memastikan orang-orang yang kompeten dan jujurlah yang berperan sebagai
pemimpin pada level-level di bawahnya;
d. Langkah
keempat, fokus pada hasil kerja. Langkah itu dilakukan dengan membuat
mekanisme asessment yang dapat mengukur hasil kerja tiap pegawai atau tiap tim
yang diberi tugas tertentu;
e. Langkah
kelima, mulai mengubah unit-unit kecil di instansi kemudian dorong agar
perubahan itu menyebar ke unit-unit lain di seluruh instansi;
f. Langkah
keenam, membuat peraturan formal, sistem, maupun struktur untuk mengukuhkan
perubahan, termasuk cara untuk mengukur perubahan yang terjadi;
g. Langkah
ketujuh, mengawasi dan menyesuaikan strategi untuk merespons permasalahan
yang timbul selama proses perubahan berlangsung.
3. Strategi
reformasi birokrasi.
a. Pada level kebijakan, harus diciptakan berbagai
kebijakan yang mendorong Birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak
sipil warga (kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan,
gugatan);
b. Pada level
organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis
kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan
masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan
Standar Kinerja Instansi Pemerintah;
c. Pada level
operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality
meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty;
d. Instansi Pemerintah
secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan melakukan
perbaikan.
BAB III
PEMBAHASAN ATAU ANALISIS
A. Reformasi
Birokrasi di Lingkungan Pemerintahan
Daerah.
Berbagai ahli seperti Drucker ( 1992 ), Osborne & Gaebler
(1992), Barzelay (1992), Mc Leod (1998) secara implisit menyebutkan bahwa causa
prima atau penyebab utama kegagalan negara membawa kesejahteraan rakyatnya
adalah karena kelemahan manajemennya. Manajemen pemerintahan pada semua dimensi
umumnya sudah sangat usang, tertinggal oleh kemajuan jaman, sehingga alih-alih
melayani masyarakat, organisasi pemerintah malahan lebih banyak menjadi beban.
Hal tersebut nampak dari penggunaan sebagian besar dana publik untuk
kepentingan mereka sendiri. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila
Ingraham dan Romzek ( 1994 ) menyebutkan
bahwa sektor pemerintah harus belajar dari sektor privat yang sukses. Ingraham
dan Romzek (1994) menawarkan pengelolaan pemerintahan baru yang disebutnya
paradigma ”Hollow State”, dengan ciri pekerjaan pemerintah yang tidak bersifat
stratejik (non-strategic function) dikontrakkan kepada pihak ketiga
(contracting-out).
Sektor privat pada umumnya sudah masuk pada manajemen generasi
kelima yakni management by human networking - dengan dominasi penggunaan
teknologi komunikasi dan informasi. Savage (1990) menyebutkan bahwa prinsip
human networking adalah “self-empowering”, yakni pemberdayaan diri sendiri pada
setiap orang sehingga mampu mandiri, termasuk di dalam mengambil keputusan. Pimpinan
diperlukan untuk mengkoordinasikan kegiatan perorangan agar mengarah pada
pencapaian tujuan, tetapi tidak bersifat mengatur. Pada tahap kemandirian,
setiap individu telah memiliki kesadaran dan tanggung jawab tanpa terlampau
banyak diawasi atau dikendalikan.
Pada sisi lain, sektor pemerintah masih berkutat pada manajemen
generasi kedua yakni management by direction - dengan dominasi peran pemimpin.
Sang pemimpin menjadi sumber ide dan gagasan, sedangkan pengikut lebih banyak
bertindak sebagai pelaksana. Dengan perkataan lain, organisasi sektor
pemerintah masih memiliki karakteristik berorientasi pada pemimpin (leader
orientation), belum berorientasi pada sistem (system orientation). Dengan
demikian, maju mundurnya organisasi pemerintah sangat tergantung pada sang
pemimpin.
Anggota organisasi lebih merupakan bawahan yang lebih banyak
menjalankan perintah atasan, daripada insan-insan yang memiliki kreativitas dan
inovasi. PNS dihargai karena kepatuhan dan loyalitasnya, bukan karena
kreativitas dan inovasinya. Birokrasi di Indonesia adalah birokrasi tanpa
karakter. Indikasinya nampak dari berbagai persidangan korupsi pada
Departemen Agama maupun Departemen Kelautan dan Perikanan, dan mungkin nantinya
juga pada departemen-departemen lainnya. Seorang sekretaris jenderal yang
merupakan jabatan tertinggi dalam jajaran birokrasi di Indonesia (golongan IVe)
ternyata tidak memiliki keberanian untuk menolak perintah menteri, meskipun
mereka tahu bahwa perintah tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Mereka takut kehilangan jabatan, karena bagi mereka jabatan adalah
segala-galanya. Karena pada jabatan tersebut melekat kehormatan serta fasilitas
baik yang resmi dan terutama yang tidak resmi. Gaji dan tunjangan resmi eselon
I relatif kecil dibandingkan dengan jenjang jabatan yang setara pada sektor
privat. Tetapi apabila fasilitas penunjang yang diterima dari negara seperti
mobil dinas, rumah dinas, sopir dinas dan lain sebagainya, yang semuanya
dibiayai oleh negara dihitung sebagai pendapatan maka jumlahnya menjadi sangat
besar. Belum lagi gratifikasi dari pihak ketiga yang diterima karena
jabatannya. Sehingga pendapatan yang dibawa pulang (take home pay) setiap
bulannya tidak jauh berbeda dengan sektor swasta.
Apabila pejabat eselon I yang sudah ikut segala macam pendidikan
dan pelatihan di dalam maupun di luar negeri saja tidak memiliki karakter yang
jelas, dapat dibayangkan bagaimana karakter birokrasi pada tingkat yang lebih
rendah. Hal-hal ideal yang diterima selama mengikuti pendidikan dan pelatihan
hanya sekedar wacana, wacana dan wacana, karena kurang diikuti dengan komitmen
untuk perubahan ke arah kemajuan dan konsisten menjaga komitmen.
Reformasi manajemen birokrasi diberbagai negara, termasuk
Indonesia, diperkuat dengan hadirnya paradigma good governance yang
dikembangkan oleh Bank Dunia maupun UNDP. Pada hakehatnya tata kepemerintahan
yang baik adalah upaya memperbaiki manajemen dalam berbagai aspkenya dengan
memasukkan nilai-nilai baru yang lebih transparan, akuntabel, demokratis serta
berbasis pada 6 penegakan hukum. Good governance sendiri adalah cara atau
implementasi untuk mengubah keadaan dari pemerintahan yang jelek (bad
government) menuju pada pemerintahan yang baik (good government).
Untuk mengejar ketertinggalan dibanding sektor pemerintah di negara
lain maupun sektor swasta, manajemen sektor pemerintah di Indonesia, khususnya
pemerintah daerah perlu dibenahi secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Pembenahannya mencakup semua fungsi dan aspek manajemen meliputi perencanaan,
organisasi, pelaksanaan, pengawasan sampai pengelolaan konflik dan kolaborasi.
B. Reformasi
Organisasi Birokrasi Pemerintah Daerah.
Telah dipahami bersama bahwa organisasi adalah sebuah wadah dan
sekaligus sistem kerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sebagai sebuah
sistem, organisasi harus bersifat ”self-renewing system”, dalam arti memiliki
mekanisme untuk secara terus menerus memperbaiki dirinya sendiri sesuai
perkembangan lingkungan internal dan eksternalnya. Organisasi yang tidak mampu menyesuaikan
diri dengan perubahan, akan menjadi usang, dan kemudian mati.
Perkembangan teori organisasi berjalan seiring dengan perkembangan
manajemennya, karena keduanya merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang
tidak dapat dipisahkan. Manajemen hanya ada dalam sebuah organisasi, sebaliknya
organisasi tanpa manajemen hanyalah sebuah kerumunan atau gerombolan.
Pola organisasi pemerintah daerah yang digunakan pada saat diatur
berdasarkan PP Nomor 8 Tahun 2003 masih memakai model generasi ketiga, dengan
mengutamakan kewenangan serta menonjolkan jabatan struktural. Tetapi PP ini
masih sejalan dengan kecenderungan perubahan global yakni dari downsizing
menuju rightsizing, karena membatasi jumlah maksimal dinas dan lembaga teknis
daerah pada Daerah Provinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota. Para ahli organisasi
sudah mengingatkan bahwa pada abad ke-21 perlu dilakukan pembaruan dengan lebih
menekankan pada keahlian, bukan lagi pada kekuasaan.
Momentum untuk mengubah organisasi pemerintah daerah menjadi lebih
profesional menuju organisasi generasi keempat sebenarnya terbuka pada saat PP
tersebut akan direvisi. PP penggantinya yakni PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Pemerintah Daerah ternyata mengalami kemunduran dari segi konsep,
karena PP tersebut mendorong terjadinya proliferasi birokrasi dengan memberi
peluang penambahan jumlah jabatan struktural. Padahal melalui sistem pemilihan
kepala daerah secara langsung seperti saat ini telah terjadi politisasi
birokrasi. Jabatan struktural diisi oleh kepala daerah yang memenangkan
pemilihan tanpa mengindahkan kompetensi jabatannya. Sebagai contoh kasus di
beberapa daerah terdapat kepala dinas perhutanan dan konservasi tanah diisi
oleh sarjana sosial politik, jabatan sekretaris DPRD diisi oleh sarjana
perikanan, kepala kantor arsip dan perpustakaan daerah diisi oleh sarjana
teknik. Praktek semacam itu terjadi juga diberbagai daerah lainnya di
Indonesia. Asas yang dipakai adalah ” siapapun dapat jadi apapun, asalkan kepala
daerah menghendaki”.
Pola pengembangan karier PNS seperti itu tidak akan pernah
membangun birokrasi yang profesional dalam bidang tertentu, karena PNS tidak
pernah dapat merancang kariernya sendiri. Karier PNS sangat tergantung pada
pendekatan politik dan ”garis tangan”. Padahal melalui PP Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, daerah otonom khususnya
kabupaten/kota diberi urusan pemerintahan yang banyak, luas dan bersifat
teknis. Untuk menjalankannya diperlukan birokrasi yang profesional dalam
bidangnya secara spesifik, dan hal tersebut hanya dapat diperoleh melalui
pengembangan karier melalui jabatan fungsional dalam suatu organisasi
fungsional. Apabila daerah mengembangkan organisasi fungsional, berarti daerah
telah masuk pada organisasi generasi keempat. Jabatan karier yang bersifat
generalis tetap diperlukan, tetapi jumlahnya tidak sebanyak jabatan karier
spesialis.
C. Reformasi
Sumber Daya Birokrasi Pemerintah Daerah.
Di dalam organisasi, sumber daya manusia memegang peranan kunci,
begitu pula di dalam birokrasi pemerintah daerah. Sumberdaya manusia dalam
birokrasi pemerintah daerah yang biasa disebut sebagai pegawai negeri sipil
adalah abdi negara dan masyarakat. Menurut Bekke, Perry & Toonen (1996),
ada lima tahap perkembangan peran PNS yaitu:
1. Tahap pertama, PNS
sebagai pelayanan perorangan;
2. Tahap kedua, PNS
sebagai pelayanan negara atau pemerintah;
3. Tahap ketiga, PNS
sebagai pelayan masyarakat;
4. Tahap Keempat PNS
sebagai Pelayanan Yang Dilindungi;
5. Tahap Kelima PNS
sebagai Pelayanan Profesional.
Untuk masuk ke tahap kelima perlu dibangun organisasi fungsional
yang didukung oleh orang-orang yang memiliki kompetensi dan profesional dalam
bidang tugasnya masing-masing. Arah pengembangan kariernya bukan melebar
menjadi generalis, melainkan menukik ke dalam menjadi spesialis dalam
bidangnya.
D. Reformasi
Kepemimpinan Pemerintah Daerah.
Kepemimpinan nasional harus dapat berfungsi mengawal proses pembangunan
dan hasil-hasilnya dapat dirasakan oleh warga bangsa di seluruh wilayah
nusantara. Konsepsi membutuhkan sumberdaya manusia berkualitas, berkemampuan
iptek dan seni yang dilandasi nilai-nilai ideologi bangsa, serta dapat
berinteraksi dengan komponen bangsa lainnya dalam hidup bersama. Kepemimpinan
nasional harus dapat mengawal strategi implementasi reformasi birokrasi (PURB,
2008) yakni (i) membangun kepercayaan masyarakat, (ii) membangun komitmen dan
partisipasi, (iii) mengubah pola pikir, budaya dan nilai-nilai kerja dan (iv)
memastikan keberlangsungan berjalannya sistem dan mengantisipasi terjadinya
perubahan.
Strategi implementasi reformasi birokrasi bukan hal teknis semata,
tetapi membutuhkan kemampuan kepemimpinan extraordinary untuk menjalankannya
pada tatanan Sismennas. Hal ini bisa dilihat dari sisi lain, Sismennas
sesungguhnya menjadi alat bantu yang efektif untuk menjalankan mekanisme
business process kepemimpinan. Lebih penting dari itu, kepemimpinan juga harus
mampu mengawal seluruh SDM senantiasa dalam steady state mengantisipasi
perubahan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Reformasi
birokrasi pemerintahan daerah merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh seluruh pemerintahan daerah di Indonesia dengan berpedoman kepada Grand
Design dan Road Map Reformasi Birokrasi, yang meliputi reformasi organisasi,
sumber daya, dan reformasi kepemimpinan daerah dalam rangka tercapainya tujuan
dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya diperlukan
monitoring yang solid dan kredibel serta mencerminkan suatu sistem pengukuran
yang objektif, dan pengguna dapat menerima dan menindaklanjuti hasil dari
sistem tersebut.
Mantan Menteri
Pemberdayaan Aparatur Negara dan reformasi Birokrasi (Menpan-RB) RI, Azwar Abu
Bakar pernah membuka Rapat Kerja Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah di Hotel
Labersa, Kampar. Dalam kata sambutannya, mantan Menpan-RB ini menilai
produkticitas birokrasi masih tergolong rendah. Dengan kondisi ini, reformasi
birokrasi menjadi salah satu solusi dalam menghasilkan aparatur pemerintah yang
memahami tugas dan tanggungjawab, serta bersih dari kolusi, korupsi dan
nepotisme (KKN). Dia menyebutkan, seluruh aparatur pemerintah daerah harus
berubah dan mengikuti birokrasi reformasi. Ini ditekankan karena permasalahan
birokrasi termasuk tiga permasalahan besar di Indonesia, selain korupsi dan
infrastruktur.
Untuk itu mantan Menteri Menpan dan RB Azwar Abubakar telah disusun
model Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) yang merupakan
hasil adopsi dari model Common Assesment Framework (CAF). Model ini,
mengandalkan penilaian mandiri dalam penilaian kinerja instansi pemerintah, dan
mengembangkan rencana perbaikan kinerja dengan menggunakan prinsip-prinsip
Total Quality Manajemen (TQM) dengan perbaikan secara berkelanjutan. Pedoman
PMPRB tersebut merupakan acuan bagi instansi pemerintah untuk melakukan
penilaian upaya pencapaian program reformasi birokrasi sejalan dengan
pencapaian sasaran, indicator dan target nasional. PMPRB mengkaitkan penilaian
atas output dan outcame pelaksanaan program reformasi birokrasi di instansi
pemerintah serta pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) masing-masing
instansi pemerintah dengan Indikator bekerhasilan reformasi birokrasi secara
nasional.
Penerapan model PMPRB, menurut mantan Menpan RB Azwar Abubakar akan
segera ditetapkan sebagai pedoman, hal ini karena memiliki berbagai keuntungan
dan manfaat karena model ini, pertama;
sederhana, mudah diterapkan dan menyesuaikan dengan dinamika perubahan. Kedua; manfaat dan pengolah lebih lanjut
berbagai data/informasi, materi serta dokumen yang sebagian besar sudah
dikembangkan dan tersedia. Ketiga;
memberikan system penilaian mandiri dan baku yang objektif dan dapat memberikan
informasi perkembangan pelaksanaan reformasi birokrasi di instansi secara
Online dan upaya perbaikan yang diperlukan secara efektif dan berkelanjutan. Keempat, memudahkan pengintegrasian data
dan informasi untuk menggambarkan profil pencapaian reformasi birokrasi nasional
secara Online. Kelima; mendorong
terjadinya kompetensi yang positif di antara instansi emerintah sehingga
mendorong kinerja pemerintah secara keseluruhan. Keenam; mendorong kerjasama internasional dalam komunitas bersar
pengguna model CAF dengan berbagai pengalaman dengan berbagai institusi di
Negara lain melalui suatu forum ataupun secara bilateral, dan ketujuh; memudahkan peningkatan capacity
building secara internasional bersama dengan European Institute of Public
Administrasion (EIPA) CAF Resource Center uyang berkedudukan di Belanda. Sistem
PMPRB akan dapat berperan dalam kita mengetahui dan menilai serta mengawal
pencapaian reformasi birokrasi sebagaimana diharapkan. Hal tersebut harus
ditunjukkan dengan hasil signifikan dalam perbaikan tata kelola pemerintahan
dan sasaran reformasi birokrasi nasional yaitu terwujudnya Pemerintahan yang
bersih dari KKN dan pelayanan publik yang berkualitas dan kapasitas dan
akuntabilitas kinerja birokrasi.
B. Saran
Setiap warga negara akan selalu berhubungan dengan aktivitas Birokrasi
Pemerintahan. Bahkan ketika seseorang masih berada dalam kandungan ia sudah
mulai tergantung dengan pelayanan birokrasi. Apakah untuk keperluan pemeriksaan
kesehatan (di RS atau Puskesmas ) atau setelah lahir dan harus mendapatkan
“sertifikat sebagai warga dunia” berupa akta kelahiran. Ketergantungan dengan
birokrasi itu terus berlanjut, seiring dengan bertambahnya usia seseorang atau
sejalan dengan ragam aktivitas yang dilakukan ditengah masyarakat. Sementara
itu, jenis pelayanan umum yang diselenggarakan birokrasipun sangat kompleks dan
bahkan memasuki hampir setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Intervensi birokrasi yang demikian ini, sah-sah saja adanya, karena
justru untuk menyelenggarakan fungsi itulah birokrasi dibentuk.
Merupakan hal yang logis, jika kemudian
birokrat atau aparatur publik itu dijuluki Abdi Negara, karena pada pundaknya
tugas-tugas kemasyarakatan, pemerintahan dan pembangunan diselenggarakan atas
nama “organisasi politik super besar” yang disebut “negara”. Namun penting
diingat, legitimasi yang diterima para abdi negara itu bersumber dari
kepercayaan rakyat yang berdaulat. Artinya, seorang abdi negara adalah
seseorang yang mengemban amanat rakyat untuk mengayomi kepentingan kepentingan
mereka (rakyat). Jadi, jika dikaitkan dengan sumber legitimasi ini, maka
seseorang aparatur negara/ publik (pegawai negeri, birokrat atau abdi negara)
itu, sesungguhnya adalah seorang abdi masyarakat. Ini berarti, bahwa tugas
aparatur publik adalah melayani masyarakatnya (public service).
Reformasi birokrasi tidak akan pernah
berhenti demi tercapainya suatu pelayanan yang afektif dan efesien untuk
masyarakat,
Saran yang dapat penulis berikan pada makalah ini adalah:
a.
Peningkatan pelayanan haruslah merata di
berbagai aspek
b.
Masyarakat bukan hanya sebagai pihak yang
dilayani tetapi juga pengawas pelayanan maka pemerintah haruslah memperbaiki
system pelayanan hal ini di karenakan takutnya ketidak percayaan masyarakat
kepada pemerintah yang menjalankan pelayanan
c.
Pemerintah haruslah memperhatinkan
pelayanan yang optimal kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar