KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan rahmat Dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul “Otonomi Khusus dan Otonomi Daerah” ini dengan
sebaik-baiknya.
Kami sadar bahwa makalah ini tidak dapat terselesaikan
dengan baik tanpa bantuan dosen pengampu, rekan-rekan dan pihak-pihak yang
telah membantu baik secara moril maupun spiritual. Untuk itu kami mengucapkan
terima kasih. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak
.“Tiada Gading yang tak Retak” pepatah itulah yang mewakili
ungkapan perasaan kami bahwa makalah ini jauh dari sempurna, maka kiranya
kritik dan saran sangat kami nanti dari para pembaca.
Sorong,03 Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................. i
Daftar Isi.......................................................................................................... ii
Bab I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang..................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah................................................................................. 1
C.
Tujuan
Penulisan................................................................................... 2
Bab II Pembahasan
A.
Di
mulainya reformasi otonomi daerah................................................ 3
B.
Otonomi
daerah sebagai paradigm baru............................................... 3
C.
Prinsip
desentralisasi dan otonomi daerah............................................ 4
D.
Asas dan
Tujuan Otonomi Daerah....................................................... 4
E.
Pengertian
Otonomi Khusus................................................................. 4
F.
Nilai-nilai
dasar..................................................................................... 5
G.
Pokok Pikiran Otonomi Khusus Papua................................................ 6
Bab III Penutup
A.
Kesimpulan........................................................................................... 10
B.
Saran..................................................................................................... 10
Daftar
Pustaka.................................................................................................. 11
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dimulainya Reformasi
Otonomi Daerah
Reformasi yang ada pada saat ini di bidang
politik dan pemerintahan melahirkan agenda dan kesepakatan nasional baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini kemudian menerbitkan Tap MPR
No. XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI, mengawali paradigm baru tatanan
pemerintah daerah.
Paradigma baru pemerintahan daerah memberikan kewenangan luas bagi daerah,
bahkan dari kewenangan yang ada tersebut terdapat kewenangan wajib yang
merupakan bagian dari tanggungjawab publik Pemerintah Daerah dalam pemenuhan
kebutuhan rakyat (public goods). Kesemuanya ini dilaksanakan secara demokratis,
transparan, dan egaliter yang berarti menempatkan priorotas keragaman daerah
sebagai manifestasi dari Bhineka Tunggal Ika.
Dengan berkembangnya pelaksanaan demokrasi dari bawah, maka rakyat tidak saja
dapat menentukan nasibnya sendiri melalui pemberdayaan masyarakat. Melainkan
yang utama adalah berupaya untuk memperbaiki nasibnya sendiri. Hal itu dapat
diwujudkan dengan memberikan kewenangan yang cukup luas kepada Pemerintah
Daerah guna mengatur dan mengurus serta mengembangkan daerahnya, sesuai dengan
kepentingan dan potensi daerahnya.
B.
Otonomi Daerah Sebagai Paradigma Baru
Pemberlakuan otonomi daerah sebenarnya merupakan suatu
pilihan politis sebagai dampak penerapan bentuk negara kesatuan dengan cirri
terpusatnya kekuasaan. Akibatnya, tuntutan aspirasi masyarakat di daerah tidak
terpenuhi dan lambat laun menumbuhkan kekecewaan. Ketika kondisi telah matang,
tercipta momentum yang menggerakkan arus balik. Jika dulu, dari daerah ke
pusat, kini dari pusat ke daerah.
Beberapa prinsip dasar yang harus dipegang oleh semua pihak
dalam persiapan dan pelaksanaan otonomi daerah adalah: pertama, otonomi daerah
harus dilaksanaan dalam konteks negara kesatuan; kedua, pelaksanaan otonomi
daerah menggunakan tata cara desentralisasi dengan demikian peran daerah sangat
menentukan; ketiga, pelaksanaan otonomi daerah harus dimulai dari
mendefinisikan kewenangan, organisasi, personal kemudian diikuti dengan
keuangan, bukan sebaliknya; keempat, adanya perimbangan keuangan baik perimbangan
horizontal/antar daerah (antar provinsi dan antarkabupaten/kota dalam satu
provinsi) maupun perimbangan vertikal, antara pusat dan daerah; kelima, fungsi
Pemerintah Pusat masih sangat vital, baik dalam kewenangan strategis (politik
luar negeri, Hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan
bidang lain), maupun untuk mengatasi ketimpangan antardaerah.
Persoalan yang dihadapi daerah adalah keragaman dalam banyak
hal, misalnya potensi ekonomi, sumber daya alam, SDM, infrastruktur, kultur,
dan lain-lain; sehingga pelaksanaan otonomi secara seragam akan menghadapi
masalah yang cukup serius. Ini tantangan dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 32
Tahun 2004, apakah bisa mengadopsi keragaman tersebut dengan memberikan,
fleksibilitas, dalam pelaksanaannya, atau bahkan dirasa perlu beberapa pasal
direvisi, berdasarkan aspirasi dan tuntutan masyarakat yang disalurkan melalui
DPR.
C. Prinsip
Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Otonomi Daerah pada dasarnya bukanlah tujuan, melainkan alat
bagi terwujudnya cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan otonomi daerah yang berorientasi kepada kepentingan rakyat tidak akan
pernah terwujud apabila pada saat yang sama agenda demokratisasi tidak
berlangsung. Dengan kata lain, otonomi daerah yang di satu sisi bisa
meminimalisir konflik pusat-daerah, dan di sisi lain dapat menjamin cita-cita
keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi masyarakat, hanya mungkin
diagendakan dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan bangsa di bidang politik,
hukum, dan ekonomi. Otonomi daerah harus diagendakan sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari demokratisasi kehidupan bangsa.
Selain itu, otonomi daerah harus juga dilihat sebagai
otonomi masyarakat daerah, bukan otonomi pemerintahan daerah. Konsekuensi logis
dari cara pandang seperti ini adalah kebijakan otonomi daerah harus
berorientasi pada pemberdayaan, pelayanan, dan kesejahteraan bagi
masyarakatnya. Sebagai hak yang melekat pada masyarakat, otonomi daerah pada
hakikatnya tidak dapat dicabut oleh pemerintah pusat. Namun demikian,
pemerintah pusat, melalui persidangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat
mencabut dan/atau mengurangi hak dan kewenangan pemerintahan daerah yang
dianggap gagal dalam menyelenggarakan otonomi daerah.
D. Asas dan Tujuan Otonomi Daerah
Asas dan tujuan dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah
suatu yang penting dan bersifat mendasar, karena berhubungan dengan format
desentralisasi dan kebijakan otonomi daerah yang hendak direkomendasikan di
sini adalah saling percaya dan saling menghormati (mutual trust and mutual
respect), saling melengkapi, dan kesalingtergantungan, baik antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antar pemerintah daerah, maupun antara
rakyat dan pemerintah dalam rangka mewujudkan suatu Indonesia yang utuh, adil,
demokratis, dan sejahtera.
Tujuan dari kebijakan otonomi daerah ada 2 (dua), yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum kebijakan otonomi daerah adalah
untuk meningkatkan kualitan keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi seluruh
unsure bangsa yang beragam di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
utuh. Adapun tujuan khusus dari kebijakan otonomi daerah adalah :
(1)
meningkatkan keterlibatan dan partisipasi masyarakat dan proses pembuatan
keputusan maupun implementasinya sehingga terwujud suatu pemerintahan lokal
yang bersih, efisien, transparan, responsif, dan akuntabel;
(2)
memberikan pendidikan politik kepada masyarakat akan urgensi keterlibatan
mereka dalam proses pemerintahan lokal dan kontribusinya bagi tegaknya
pemerintahan nasional yang kokoh dan sah;
(3)
memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih para pemimpin mereka secara
langsung dan demokratis;
(4)
membangun kesalingpercayaan antarmasyarakat di satu pihak, dan antara
masyarakat dan pemerintahan di pihak lain.
E. Pengertian Otonomi Khusus
Otonomi Khusus bagi Papua harus diartikan secara jelas dan
tegas sejak awal, karena telah terbentuk berbagai pemahaman yang negative
mengenai Otonomi di kalangan rakyat Papua. Pengalaman jelek yang dialami oleh
rakyat Papua dalam masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, yang juga
memperlakukan daerah Papua sebagai suatu daerah otonomi, merupakan alasan penting
dimilikinya sikap negatif ini.
Istilah “otonomi” dalam Otonomi Khusus haruslah diartikan
sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri,
sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur
pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua
dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung
penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang
memang berkekurangan. Hal ini yang tidak kalah penting adalah kebebasan untuk
menentukan strategi pembangunan social, budaya, ekonomi dan politik yang sesuai
dengan karakteristik dan kekhasan sumber daya manusia serta kondisi alam dan
kebudayaan orang Papua. Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati
diri orang Papua yang seutuhnya yang ditunjukkan dengan penegasan identitas dan
harga dirinya.
Istilah “khusus” hendaknya diartikan sebagai perlakuan
berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan yang dimilikinya.
Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat social ekonomi masyarakat,
kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisannya, kekhususan
otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Papua
dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang
berlaku di daerah lain di Indonesia yang tidak diterapkan di Papua.
F. Nilai-nilai Dasar
Ø Perlindungan terhadap Hak-Hak Dasar
Penduduk Asli Papua
Perlindungan
terhadap hak-hak dasar orang Papua mencakup enam dimensi pokok kehidupannya:
a) Perlindungan hak hidup orang Papua
di Tanah Papua yaitu suatu kualitas kehidupan yang bebas dari rasa takut serta
terpenuhi seluruh kebutuhan jasmani dan rohaninya secara baik dan proporsional.
b) Perlindungan hak-hak orang Papua
atas tanah dan air dalam batas-batas tertentu dengan sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya.
c) Perlindungan hak-hak orang Papua
untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan aspirasinya.
d) Perlindungan hak-hak orang Papua
untuk terlibat secara nyata dalam kelembagaan politik dan pemerintahan melalui
penerapan kehidupan berdemokrasi yang sehat.
e) Perlindungan kebebasan orang Papua
untuk memilih dan menjalankan ajaran agama yang diyakininya,tanpa ada penekanan
dari pihak manapun; dan
f) Perlindungan kebudayaan dan istiadat
orang Papua.
Ø Demokrasi dan Kedewasaan
Berdemokrasi
Rakyat Papua perlu terus mengembangkan kemampuannya untuk
berdemokrasi secara dewasa yang ditinjukkan dengan kemampuan utnuk menghargai
pluralisme atas dasar suku, agama, dan perbedaan-perbedaan sosial lainnya.
Rakyat Papua juga perlu secara optimal memanfaatkan berbagai perangkat
demokrasi yang tersedia dalam sutau negara modern seperti partai politik,
pemilihan umum dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat agar berbegai aspirasi
yang dimiliki dapat disalurkan secara baik dan memiliki legalitas yang kuat dan
efektif demi tercapainya kehidupan berdemokrasi secara dewasa dan bertanggung
jawab.
Ø Penghargaan terhadap Etika dan Moral
Etika dan Moral merupakan tuntutan hidup orang Papua sejak
dahulu yang telah dikembangkan oleh nenek moyang dan merupakan bagian dari
adat-istiadat. Etika dan Moral ini kemudian diperkaya oleh ajaran-ajaran agama
Kristen Protestan, Katolik, Islam, dan agama-agama lain yang dipeluk oleh
orang-orang Papua sejak kurang lebih 200 tahun lalu. Penghargaan etika dan
moral inilah yang memungkinkan Tanah Papua hingga kini masih jauh lebih aman
dibandingkan beberapa daerah tertentu di Indonesia, walaupun ada pihak-pihak
yang terus menerus menyebarluaskan kesan bahwa Papua adalah daerah yang rawan
keamanan. Hubungan sosial yang erat dan saling menghormati antarsesama warga
Tanah Papua yang terus dipertahankan bahkan dikembangkan hingga saat ini adalah
akibat adanya penghargaan terhadap etika dan moral yang telah ada sejak dahulu.
Ø Penghormatan terhadap Hak-hak Asasi
Manusia
Pelaksanaan pembangunan melalui Otonomi Khusus di Tanah
Papua harus dapat dilakukan dengan mengubah total semua praktik-praktik
pembangunan di masa lalu, yang mengabaikan bahkan melanggar HAM rakyat Papua.
Penggunaan kekuatan keamanan dan militer yang berlebihan dan melanggar HAM di
waktu lalu, yang mengakibatkan banyak rakyat Papua hidup dalam rasa takut,
harus dihilangkan di dalam era Otonomi Khusus ini. Pelaksanaan Otonomi Khusus
harus mampu mewadahi proses ini secara damai dan bermartabat dan sekaligus
membangun kerangka-kerangka dasar dalam rangka penyelesaian tuntas
masalah-masalah yang terkait dengan pelurusan sejarah ini.
Ø Penegakan Supremasi Hukum
Rakyat Papua pada dasarnya patuh pada hukum, sepanjang hukum
itu memang berpihak kepada kepentingan orang banyak, diwadahi dalam suatu
sistem yang professional dan bebas dari intervensi pihak manapun, dan para
penegaknya dapat menjadi suri teladan bagi masyarakat. Keadaan yang disebutkan
di atas merupakan salah satu modal dasar yang ampuh dalam rangka mencapai
kesejahteraan rakyat di Tanah Papua. Di dalam Otonomi Khusus Papua, supremasi
hukum harus dapat ditegakkan dan terlihat secara nyata dalam penyelenggaraan
pemerintahan, proses peradilan dan penegakan HAM.
Ø Penghargaan terhadap Pluralisme
Penghargaan akan pluralisme yang telah dianut sejak dahulu
harus terus dapat dipelihara dan dimanfaatkan di Tanah Papua dalam era Otonomi
Khusus. Penghargaan akan pluralisme yang dimaksud adalah barang tentu harus
diwarnai dengan keberpihakan secara tegas kepada mereka yang paling menderita,
paling tertinggal, dan berada pada hierarki paling bawah dalam hal akses
terhadap berbagai fasilitas kesejahteraan sosial, ekonomi, dan budaya.
Ø Persamaan Kedudukan, Hak dan
Kewajiban sebagai Warga Negara
Penegakan supremasi hukum perlu disebarluaskan kepada
seluruh lapisan masyarakat Papua, termasuk kalangan aparat pemerintah dan
keamanan tentang hak dan kedudukan sebagai warganegara yang sama di depan
hukum, dan harus dilaksanakan secara bijaksana dengan peka terhadap kondisi
objektif sebagian besar penduduk di Papua yang kondisi sosial, ekonomi, dan
politiknya memerlukan perlindungan-perlindungan tertentu. Dengan perkataan
lain, perlindungan yang diberikan itu harus mampu mengembangkan kemampuan diri
masyarakat Papua untuk dalam waktu yang secepatnya dapat terlayani
hak-hak dan memenuhi kewajiban-kewajibannya sama seperti semua warga negara
lain.
G. Pokok Pikiran Otonomi Khusus
Papua
Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Provinsi Papua
Salah satu inti pelaksanaan otonomi khusus di Papua adalah
pembagian kewenangan pemerintahan antara Pusat dan Provinsi Papua. Pembagian
kekuasaan dan kewenangan ini bukan semata-mata senagai konsekuensi pemberian
status otonomi khusus, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaan
prinsip-prinsip demokratisasi penyelenggaraan negara dengan memberikan
kesempatan sebesar-besarnya kepada rakyat dan daerah untuk mengatur dan
mengurus dirinya sendiri secara nyata.
Dengan menggunakan semangat seperti ini, Pemerintah Pusat
memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal sebagai berikut:
a)
Politik
luar negeri yaitu bahwa Pemerintah Pusat memiliki kewenangan penuh mengurus
politik luar negeri negara, dan Provinsi Papua termasuk ke dalamnya.
b)
Pertahanan
terhadap ancaman eksternal yaitu bahwa Pemerintah Pusat bertanggung jawab penuh
untuk menangkal setiap ancaman eksternal yang bertujuan untuk menghancurkan
integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c)
Moneter
yaitu pada dasarnya pengaturan sistem moneter di Provinsi Papua diatur oleh
Pemerintah Pusat, namun tidak menutup kemungkinan bagi Provinsi Papua untuk
memiliki sistem mata uang sendiri, di samping Rupiah, apabila memang lebih
memberikan keuntungan kepada rakyat dan perkembangan perekonomian Papua.
d)
Peradilan
Kasasi yaitu bahwa proses peradilan tingkat pertama dan tingkat banding
dilakukan di Provinsi Papua, sementara peradilan tingkat kasasi dilakukan di
tingkat nasional. Hal ini sekaligus menunjukkan sistem hukum di Provinsi Papua
tetap merupakan bagian dari sistem hukum nasional Indonesia.
Diluar keempat kewenangan pemerintahan pusat seperti
dikemukakan tersebut, semua kewenangan bidang pemerintahan lain menjadi urusan
penuh pemerintahan Provinsi Papua. Hal ini sekaligus pula berarti bahwa semua
ketentuan perundang-undangan Republik Indonesia yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan Undangundang Otonomi Khusus Papua tidak berlaku di Provinsi
Papua.
Ø Pembagian Kewenangan di dalam
Provinsi Papua
Otonomi Khusus Papua berarti bahwa ada hubungan hirarkis
antara pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota, namun pada saat yang
sama provinsi, kabupaten/kota dan kampung masing-masing adalah daerah otonom
yang memiliki kewenangannya sendiri-sendiri. Prinsip yang dianut adalah bahwa
kewenangan perlu diberikan secara proporsional ke bawah, terutama untuk
berbagai hal yang langsung berkaitan dengan masyarakat. Hal ini konsisten
dengan salah satu prinsip dasar otonomi yaitu menempatkan sedekat-dekatnya penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan ke subjek, yaitu rakyat. Karena itu, di dalam
konteks Otonomi Khusus Provinsi Papua, fungsi-fungsi pengaturan berada di
tingkat provinsi sedangkan fungsi-fungsi dan kewenangan pelayanan masyarakat
diberikan sebesar-besarnya kepada kabupaten/kota dan kampung.
Untuk menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis,
profesional dan bersih, dan sekaligus memiliki ciri-ciri kebudayaan dan jati
diri rakyat Papua, serta mengakomodasi sebanyak mungkin kepentingan penduduk
asli Papua, perlu dibentuk empat badan/ lembaga, yaitu:
a) Lembaga Eksekutif
Tingkat Provinsi dipimpin seorang Gubernur dan di tingkat
Kabupaten/ Kota dipimpin oleh Bupati atau Walikota. Gubernur, Bupati, dan
Walikota dipimpin lembaga legislatif. Lembaga eksekutif berfungsi untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan Gubernur dipilih oleh Lembaga Legislatif.
b) Lembaga Legislatif
Lembaga Legislatif terdiri dari dua badan yaitu Dewan
perwakilan Rakyat dan Majelis Rakyat Papua. Sistem ini lazim dikenal dengan
istilah bikameral. Keanggotaan DPR adalah wakil-wakil partai politik yang
dipilih rakyat melalui Pemilihan Umum. Keanggotaan MPR Papua terdiri dari
wakil-wakil adat, wakil-wakil agama dan wakil-wakil perempuan yang dipilih oleh
rakyat. Selain bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat bertugas mengawasi
pelaksanaan pemerintahan oleh Lembaga Eksekutif, Majelis Rakyat Papua juga
berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan tugas Dewan perwakilan Rakyat.
c) Lembaga Adat
Mengatur segala sesuatu yang terkait dengan hak-hak masyarakat
adat di wilayah hukum adat tertentu.
d) Lembaga Peradilan
Berpedoman pada sistem hukum nasional Indonesia.
Penyelesaian-penyelesaian perkara menurut hukum adat juga diberlakukan di
Papua.
Ø Ekonomi dan Keuangan
Fokus utama yang ingin dicapai melalui pembangunan ekonomi
di Tanah Papua adalah:
a)
Memberikan
manfaat sebanyak-banyaknya kepada penduduk Papua, terutama penduduk asli Papua
yang selama ini terabaikan atau terpinggirkan dalam pembangunan ekonomi.
b)
Mengembangkan
kemampuan diri penduduk Papua, terutama penduduk asli Papua, untuk terlibat
secara nyata dalam semua jenis kegiatan perekonomian.
c)
Memastikan
bahwa semua kegiatan ekonomi yang dilakukan di masa sekarang tidak mengabaikan
menurunnya kualitas kehidupan generasi Papua di masa depan.
Karena
itu, pembangunan ekonomi di Tanah Papua dilakukan dengan berpedoman pada
hal-hal berikut ini:
1.
Semua
usaha perekonomian di Provinsi Papua, termasuk pemanfaatan sumberdaya alamnya,
dilakukan untuk memberikan manfaat dan kesejahteraan sebesar-besarnya bagi
seluruh rakyat Papua dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan,
pemerataan, melindungi hak-hak masyarakat adat, memberi kepastian hukum bagi
pengusaha, serta pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan.
2.
Pengolahan
lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam sebagaimana yang dimaksud
pada butir di atas diupayakan untuk dilakukan sepenuhnya di Tanah Papua.
3.
Perizinan
dan perjanjian kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati sepanjang
tidak merugikan masyarakat asli Papua dan tidak bertentangan dengan jiwa dan
semangat Undang-undang Otonomi Khusus Papua.
4.
Pembangunan
perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan atau masyarakat setempat.
5.
Perundingan
yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/ Kota dan penanam modal
harus melibatkan masyarakat adat.
6.
Papua
tidak berlaku di Provinsi Papua.
Ø Kesehatan dan Gizi
Rendahnya mutu indikator-indikator kependudukan orang-orang
asli Papua sesungguhnya merupakan refleksi dari rendahnya mutu kesehatan dan
gizi penduduk Papua, terutama orang-orang asli Papua. Hal tersebut terefleksi
secara jelas dalam Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus yang mengatur bahwa
Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan
pelayanan kesehatan bermutu bagi penduduk.
Untuk menjamin bahwa pelayanan kesehatan bermutu itu dapat
dinikmati oleh seluruh peduduk Papua, termasuk mereka yang berada di daerah
terpencil, ditempuh dua pendekatan:
a)
Setiap
penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan bermutu dengan beban biaya
yang serendah-rendahnya, dan
b)
Peranan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan diberikan sebesar-besarnya kepada lembaga
keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi
persyaratan.
c)
Hal
yang sama berlaku pula untuk program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk
Papua, terutama untuk memenuhi kelompok-kelompok rawan gizi seperti ibu-ibu
hamil dan balita.
Ø Keagamaan
Salah satu realitas terpenting dari kebebasan suara hati
nurani adalah kebebasan beragama. Dalam kebebasan seperti ini, setiap orang
berhak untuk menentukan sendiri bagaimana ia beragama, ia juga berhak untuk
hidup sesuai dengan keyakinan agamanya, ia juga berhak untuk mengkomunikasikan
agamanya kepada orang lain sepanjang orang itu bersedia tanpa paksaan menerima
komunikasi itu, ia juga berhak untuk meninggalkan agamanya dan memeluk agama
baru yang diyakininya, dan bahkan ia pun berhak untuk tidak didiskriminasikan
kaerna agama atau keyakinannya.
Di dalam Otonomi Khusus Papua, dengan berpedoman pada
hak-hak manusia universal, setiap penduduk Papua dijamin hak dan kebebasannya
untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Maka, agar tercipta
suasana yang kondusif bagi pembangunan keagamaan di Papua, Pemerintah Provinsi
berkewajiban untuk:
a)
Menjamin
kebebasan, membina kerukunan dan melindungi semua umat beragama di Tanah Papua
untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
b)
Menghormati
nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama
c)
Mengakui
otonomi lembaga keagamaan
d)
Memberikan
dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proposional berdasarkan jumlah
umat dan tidak bersifat mengikat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada awal diterapkannya Otonomi Daerah di Indonesia memiliki
banyak dukungan yang positif dari tiap-tiap daerah di Provinsi. Rakyat dari
tiap daerah seakan mendukung penuh adanya kebijaksanaan baru tersebut. Daerah
diberdayakan untuk mampu
mengemban tugas dan tanggung jawabnya dalam rangka mengembangkan dan memajukan
daerahnya, baik dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan
sebagainya. Otonomi Daerah memberikan wewenang penuh kepada Pemerintah Daerah
untuk bisa menggerakkan warganya menjadi warga negara yang aktif sehubungan
dengan daerah
yang sedang dipimpinnya, tanpa memutuskan hubungan yang baik kepada Pemerintah
Pusat.
Sejalan dengan Otonomi Daerah, beberapa daerah mulai mencoba
mengusulkan kepada Pemerintah Pusat untuk merumuskan Otonomi Khusus bagi
daerahnya, karena dengan adanya Otonomi Daerah di seluruh wilayah Indonesia menyebabkan
daerah-daerah tertentu seperti yang dicontohkan adalah Papua tidak mampu
bersaing diakibatkan pengaruh pola pemerintahan yang lama (Sentralisasi) yang
membuat kaku Papua dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Otonomi Khusus Papua dimaksudkan agar Papua dapat mengejar ketertinggalannya
yang jauh dari daerah-daerah lain di Indonesia.
Otonomi Khusus Papua memberikan harapan baru bagi Tanah
Papua untuk mampu bertahan dalam Negara Kesatuan Republi Indonesia, memperoleh
kembali hak-haknya baik
dari sumberdaya alam yang dimilikinya maupun hak untuk berbicara dalam
kaitannya dengan partisipasi politik di Indonesia, juga untuk membangun
kesetaraan yang wajar dalam Republik Indonesia. Harapan-harapan tersebut
memberikan semangat bagi Tanah Papua, terutama penduduk asli Papua untuk
membangun daerahnya menuju Papua Baru.
B. Saran
Otonomi Khusus Papua ini memang banyak mengandung pro dan kontra dari
daerah-daerah lain di Indonesia, bahkan dari pihak intern. Anggapan dari
Rumusan Otonomi Khusus Papua ini adalah upaya pemisahan diri Papua secara
perlahan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini bisa dilihat dari
berbagai isu terkait tentang Tanah Papua. Isu-isu seperti ini yang memancing
asumsi-asumsi publik secaara luas untuk menggagalkan Rancangan Otonomi Khusus
Papua.
Tetapi, jika melihat jauh lebih positif, upaya Tanah Papua
ini dapat lebih kita perhatikan demi kesetaraan yang wajar di dalam wilayah
Republik Indonesia. Kita melihat rancangan ini sebagai upaya Papua untuk
bangkit dari keterpurukannya selama ini dan menuju Papua Baru. Ini juga akan
berdampak baik bagi pengembangan dan kemajuan negara Indonesia. Kita dukung
saja Rancangan Otonomi Khusus Papua ini selama kebijakannya masih relevan
sebagai negara kesatuan Republik Indonesia, dan tidak menyimpang dari pada itu.
Hanya saja pemerintah, agar lebih memperhatikan Tanah Papua lebih dari wilayah
lain mengingat tingkat pembangunannya yang sangat minim, agar Papua tidak
sampai merealisasikan keinginannya untuk memisahkan diri dari Republik
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
Dasar 1945.
Undang-undang
No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Undang-Undang
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Sumule
Agus. Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Papua. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. 2003.
Syarifin,
Pipin, S.H.,M.H. Jubaedah, Daedah, Dra. M.Si, Pemerintah Daerah Indonesia. Pustaka
Setia. Bandung. 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar