BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya setiap
negara memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan negara menjadi penting sebab
ini menentukan bentuk negara, susunan negara, organ-organ negara, fungsi dan
tugas organ negara tersebut. Bahkan pada titik tertentu tujuan negara merupakan
manifestasi dari hakekat negara tertentu. Tujuan negara dalam perkembangannya
mengalami dinamika yang bergantung pada situasi dan kodisi serta sifat dari
kekuasaan penguasa.
Tujuan Negara Indonesia sebagaimana yang tercantum
di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI 1945) yaitu menciptakan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat
Indonesia. Secara eksplisit di dalam alina ke empat Pembukaan UUD NRI 1945
dinyatakan “… untuk memajukan kesejahteraan umum…”.Konsekuensi logis dari
pernyataan tersebut adalah pemerintah sebagai penyelenggara negara
memiliki kewajiban untuk memenuhi
kesejahteraan seluruh masyarakatnya.
Tujuan negara ini mengantarkan Indonesia ke dalam
klasifikasi bentuk negara yang disebut dengan walfare state. Walfare state mengandung pengertian bahwa hakekat negara
sebagai wadah suatu bangsa memiliki tujuan fundamental untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Semangat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat
terwujud melalui pelayanan publik dalam suatu pengelolaan negara. Pelayanan
publik pada tataran ideal berbentuk kinerja aparatur penyelenggara pemerintahan
yang memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pengawasan memiliki
peranan vital untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih,
bertanggungjawab serta berwibawa sehingga sasaran tujuan negara dapat terwujud.
Dengan pengawasan dapat diketahui apakah kinerja pemerintah berada pada relnya
ataukah telah menyimpang.
Hendry Fayol dalam Muchsan menyatakan “Control
consist in verifying wither everything occur in conformity with the plan
adopted, the instruction issued, and principle established. It has for object
to point out wellness in error in order to rectify then and prevent
recurrence”. Pengawasan terdiri dari pengujian apakah segala sesuatu
berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditentukan dengan instruksi yang
telah ditetapkan. Ia bertujuan untuk menuntukkan kelemahan-kelemahan dan
kesalahan-kesalahan dengan maksud untuk memperbaiki dan mencegah terulangnya
kembali.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang di atas penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana Teori yang melandasi
pengawasan kehakiman?
2.
Bagaimana bentuk pengawasan yudikatif
yang dijalankan oleh lembaga peradilan?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui Teori yang melandasi
pengawasan kehakiman.
2.
Untuk mengetahui bentuk pengawasan
yudikatif yang dijalankan oleh lembaga peradilan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Teori yang melandasi pengawasan kehakiman
1.
Pengawasan
Dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam masyarakat maupun dilingkungan kerja, istilah
pengawasan itu agaknya tidak terlalu sukar untuk dimengerti. Akan tetapi untuk
memberikan suatu definisi atau batasan tentang pengawasan tidak mudah. Hal ini
tampak dari beragamnya definisi tentang pengawasan, meskipun pada prinsipnya
definisi tersebut pada umumnya tidak banyak berbeda.
Menurut Siagian “pengawasan adalah proses pengamatan
dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua
pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan sebelumnya”.
Dari rumusan tersebut, dapat ditarik benang merah
bahwa pengertian pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh
kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilaksanakan
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Menurut definisi tersebut tidak
disajikan tujuan proses pengamatan, melainkan tujuan akhir dari pengawasan itu
sendiri, yaitu untuk mencapai hasil sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan. Pengawasan dititik beratkan pada tindakan evaluasi serta koreksi
terhadap hasil yang telah dicapai, dengan maksud agar hasil tersebut sesuai
dengan rencana.
Pengawasan atas suatu pekerjaan atau kegiatan dilakukan
dengan maksud agar kegiatan tersebut dilaksanakan dan terlaksana sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan. Demikian juga supaya tujuan penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang telah direncanakan dapat terlaksana, maka perlu
pengawasan. Dengan pengawasan akan diketahui apakah tujuan yang akan dicapai
telah dilakukan dengan berpedoman pada rencana yang telah ditetapkan terlebih
dahulu atau tidak.
2.
Pengawasan Yudikatif
Membahas yudikatif tidak akan terlepas dari konsepsi
Trias Politica dan checks and balances system. Adalah John Locke dalam bukunya
Two Treaties on Civil Government menyarankan agar pemerintah tidak
sewenang-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan dalam negara menjadi
tiga cabang. Locke membedakan antara tiga macam kekuasaan, yaitu:
·
kekuasaan perundang-undangan
(legislative)
·
kekuasaan melaksanakan undang-undang
yang meliputi Pemerintahan (executive) dan Pengadilan (yudikatif)
·
kekuasaan melakukan hubungan diplomatik
dengan negara lain (federative).
Dalam Pasal 24 ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945 disebutkan lembaga-lembaga yang menjalankan kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Selain itu dimungkinkan kekuasaan
kehakiman dijalankan oleh badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Secara teoritis, untuk adanya suatu peradilan
diperlukan adanya unsur-unsur sebagai berikut:
·
Adanya sengketa yang kongkrit. Adalah
perbedaan pendapat tentang suatu hak ataupun suatu kewajiban. Dikatakan
kongkrit apabila sengketa tersebut telah diserahkan penyelesaiannya kepada
instansi ataupun lembaga yang berwajib.
·
Yang bersengketa sekurang-kurangnya
terdiri dari dua pihak. Apabila mengenai masalah tertentu pada saat dan keadaan
yang sama ada pendapat yang berlainan antara dua pihak, maka dikatakan ada
perselisihan antara dua pihak, maka dikatakan ada perselisihan faham atau
terjadi sengketa hukum.
·
Adanya suatu aturan hukum yang abstrak
yang dapat diterapkan terhadap sengketa tersebut. Dalam setiap peradilan, baik
sipil maupun administrative, selalu terdapat aturan abstrak yang mengikat umum
yang dapat diterapkan. Aturan hukum tersebut dapat berupa aturan tertulis yang
berbentuk peraturan perundang-undangan maupun aturan tidak tertulis yang diakui
oleh undang-undang. Misalkan aturan dalam hukum adat.
·
Adanya suatu aparatur peradilan yang
mempunyai kewenangan dalam memutus sengketa tersebut. Yang dimaksud dengan
memberi keputusan adalah menetapkan suatu aturan hukum yang abstrak pada suatu
sengketa yang kongkrit, yang bersifat mengikat bagi pihak yang bersangkutan.
Pentingnya keputusan ini menjadikan orang yang menjadi pemutus tidak bisa
sembarang orang. Kewenangan aparatur peradilan ini harus berdasarkan ketentuan
suatu peraturan perundang-undangan tertentu
Dalam melaksanakan
tugasnya sebagai penyedia pelayanan publik, aparat pemerintah akan berhubungan
dengan subyek hukum lain, baik natuurlijkepersoon maupun rechtpersoon. Tidak
jarang dari hubungan tersebut terjadi perbedaan pandangan maupun kerugian dari
salah satu pihak. Dari hal demikian dapat timbul sengketa antara pemerintah
dengan subyek hukum terkait.
Apabila persoalan tersebut diajukan kepada hakim,
maka perbuatan aparat pemerintah tersebut diuji dan dinilai oleh kekuasaan
kehakiman. Dalam hal ini hakim berwenang menilai segi hukumnya dari
kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan. Hakim mengadakan pengawasan
terbatas pada apakah penentuan tentang kepentingan umum oleh pemerintah
tersebut tidak mengurangi hak-hak individu yang adil secara tidak seimbang.
Dengan kata lain, hakim hanya memberikan
penilaian/pengawasan apakah tindakan administrasi negara dalam menyelenggarakan
pemerintahan itu termasuk sebagai perbuatan yang disebut onrechtmatige
overheidsdaad atau tidak.
Hal tersebut dapat dipahami sesuai asas umum bahwa
bijaksana tidaknya suatu tindakan pemerintah tidak diserahkan kepada hakim,
melainkan tetap ditangan administrasi negara sendiri. Dengan kata lain, dalam
hal beleid pemerintah, hakim tidak dapat mengadakan penilaian, karena hal itu
akan mendudukkan hakim pada kursi eksekutif
2.2 Bentuk Pengawasan Yudikatif oleh Lembaga Kehakiman (pengadilan)
Pengawasan adalah
segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang
sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang
semestinya atau tidak. Tujuan pengawasan adalah untuk mengetahui dan menilai
kenyataan yang sebenar-benarnya tentang obyek yang diawasi apakah sesuai dengan
yang semestinya atau tidak.
Pengawasan terhadap perbuatan aparat pemerintah
dapat dilakukan sesama aparat pemerintah atau aparat lain di luar tubuh
eksekutif secara fungsional, dapat pula dilakukan oleh kekuasaan kehakiman atau
lembaga kehakiman. Yang dimaksud kekuasaan kehakiman disini ialah kekuasaan
untuk mengadili.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945) dalam Bab IX tentang kekuasaan Kehakiman
pasal 24 telah disebutkan :
·
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan
·
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konsitusi (MK).
·
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Kemudian diatur lebih
lanjut dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal
18 menyebutkan :
Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang ada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konsitusi (MK).
Secara teoritis untuk adanya suatu peradilan
diperlukan adanya unsur-unsur yakni :
·
Adanya sengketa yang konkrit.
·
Yang bersengketa sekurang-kurangnya
terdiri dari dua pihak.
·
Adanya suatu aturan hukum yang abstrak
yang dapat diterapkan terhadap sengketa tersebut.
·
Adanya suatu aparatur peradilan yang
mempunyai kewenangan memutus sengketa hukum tersebut.
Dapatlah disimpulkan.
bahwa pengawasan terhadap perbuatan aparat pemerintahan oleh lembaga kehakiman,
selalu akan berbentuk pengawasan yang bersifat represif. Maksudnya pengawasan
tersebut dilakukan setelah ada perbuatan konkrit dari aparat pemerintah yang
dianggap merugikan pihak lawan berbuat
Berdasarkan UUDNRI
Tahun 1945 dan UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengaturan
terhadap peradilan Indonesia menggunakan multi jurisdiction system yang berpuncak
pada MA dan sebuah MK. Berikut dibawah ini akan dijabarkan mengenai pengaturan
dan bentuk pengawasan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,
1. Bentuk pengawasan yudikatif oleh Mahkamah Agung
(MA)
Kewenangan MA diatur dalam UUDNRI 1945 dalam pasal
24A ayat (1) yang menyebutkan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.
Dalam Undang-Undang kekuasaan kehakiman, Pasal 20
menyebutkan:
(1) Mahkamah
Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari peradilan yang berada di dalam
keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud pasal 18.
(2) Mahkamah
Agung berwenang :
·
Mengadili pada tingkat kasasi terhadap
putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua
lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang
menentukan lain
·
Menguji peraturan perundang-undangn
dibawah undang-undang terhadap undang-undang
·
Kewenangan lainnya yang diberikan
undang-undang
Mahkamah Agung (MA)
mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan pengadilan
yang berada dilingkungannya ini merupakan bentuk pengawasan yudikatif yang
dapat dilakukan Mahkamah Agung. Kemudian MA juga dapat menguji Peraturan
undang-undang dibawah undang-undang ini merupakan bentuk pengawasan yudikatif
MA berupa judicial review, dimana MA dapat menguji apakah Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kab/kota
bertentangan dengan Undang-Undang.
Hal ini sesuai dengan hierarki peraturan
perundang-undangan menurut pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan:
(1) Jenis
dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
·
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
·
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
·
Undang-Undang
·
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang
·
Peraturan Pemerintah
·
Peraturan Presiden
·
Peraturan Daerah Provinsi
·
Peraturan Daerah Kabupatan/Kota
(2) Kekuatan
hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
Dengan adanya kewenangan-kewenangan yang diberikan
melalui UUDNRI 1945, UU tentang Kekuasaan kehakiman dan UU tentang MA, MA
melaksanakan prinsip checks and balances sebagai lembaga yudikatif dimana
kedudukan dalam ketatanegaraan sama dan sederajat dan saling mengontrol satu
sama lain. Pengawasan yang dilakukan MA melalui peradilan-peradilan yang ada
dibawahnya yang puncaknya ada pada MA itu sendiri.
Di Indonesia terdapat lebih dari 1 macam peradilan,
berdasarkan UUDNRI 1945, UU No. 48 Tahun 2009, dan UU MA No. 3 Tahun 2009 jo
No. 4 Tahun 2004 jo UU MA No. 14 tahun 1985 dikenal adanya 4 macam peradilan,
yakni :
a.
Peradilan Umum
Peradilan ini diatur
dalam UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UU No. 8 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dan UU No. 49 Tahun
2009 tentang Perubahan kedua Atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Lembaga ini mempunyai kompetensi memeriksa dan
mengadili perkara-perkara umum, baik perdata, pidana maupun ekonomi. Peradilan
ini memiliki tiga jenjang, yakni Pengadilan Negeri, peradilan tingkat banding
yang dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi, dan peradilan tingkat kasasi, yang
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.
b.
Peradilan Militer
Peradilan ini diatur
dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Kompetensinya memeriksa
dan mengadili perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan oleh anggota Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sekarang berganti menjadi TNI, atau
dilakukan oleh orang sipil tetapi perbuatannya diklasifikasikan sebagai
perbuatan ABRI/TNI, seperti pemberontakan, coup d’at, ataupun perongrongan
terhadap pemerintah yang sah. Peradilan inipun memiliki tiga jenjeng, yakni
peradilan tingkat pertama dilaksanakan oleh Mahkamah Militer, peradilan tingkat
banding dilaksanakan oleh Mahkamah Militer Tinggi dan peradilan kasasi
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
c. Peradilan Agama
Peradilan ini diatur
dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, dan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Kompetensi memeriksa dan mengadili perkara-perkara
yang berkaitan dengan perbuatan nikah, talak dan rujuk serta warisan khususnya
bagi mereka yang memeluk Agama Islam. Untuk perkara-perkara tersebut bagi
pemeluk agama lain diadili oleh peradilan umum. Peradilan inipun memiliki tiga
jenjang pemeriksaan, yakni peradilan tingkat pertama dilaksanakan oleh
Pengadilan Agama, peradilan tingkat banding dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi
Agama dan peradilan tingkat kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.
d. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan ini diatur
dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 9 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Kompetensinya memeriksa dan mengadili sengketa tata
usaha negara, yakni sengketa anatara orang (individu atau badan hukum perdata)
dengan pejabat tata usaha negara atau Badan Tata Usaha Negara karena berlakunya
keputusan tata usaha negara. Peradilan inipun memiliki tiga jenjang
pemeriksaan, yakni peradilan tingkat pertama dilaksanakan oleh PTUN, peradilan
tingkat banding dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan peradilan
tingkat kasasi dilaksnakan oleh Mahkamah Agung.
2.
Bentuk pengawasan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
Dalam praktik
kenegaraan di Indonesia diakui tiga pembagian kekuasaan atau yang biasa dikenal
dengan trias politica, yakni eksekutif, legislatif, dan judikatif. Cabang
kekuasaan eksekutif ada pada Presiden dan Wakil Presiden. Cabang kekuasaan
legislatif, terdapat dua lembaga yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sedangkan untuk cabang kekuasaan judikatif atau kekuasaan
kehakiman, ada pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi tidak hanya
itu di samping keduanya, ada pula Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas
martabat, kehormatan, dan perilaku hakim.
Penegasan dan penjabaran pengertian kekuasaan kehakiman
dalam Pasal 24 UUD 1945 dituangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 1
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 1
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan :
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”
Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga tinggi
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan
kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Dengan demikian, Mahkamah
Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif,
yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan
ketentuan UUD 1945.
Sebagaimana dijelaskan Pasal 24C UUDNRI 1945,
Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berwenang mengadili orang/badan seperti Mahkamah
Agung (MA). Melainkan, tugas MK adalah mengadili sistem dan institusi negara.
Cermin dari sistem kenegaraan, terwujud dalam bentuk undang-undang.
Sedangkan institusi negara menurut UUD 1945 disebut
dengan lembaga negara. Sehingga, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 24C UUDNRI 1945 jo pasal 1 ayat 3
Undang-Undang nomor 8 tahun 2011 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, disebutkan bahwa MK Berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar (Pengujian Undang-Undang) yang mana putusannya bersifat final, selain itu
MK juga bertugas menguji sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
Tugas MK lainnya adalah memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilu (PHPU). Akan tetapi MK
baru bisa mengadili orang, hanya dalam kasus Impeachment, orang yang dimaksud
adalah Presiden dan atau Wakil Presiden. Bila memang terjadi, MK berwenang menggelar
forum previligeatum (pengadilan khusus) bagi Presiden dan atau Wakilnya.
Apabila dalam pengadilan tersebut Presiden dan atau
Wapres terbukti melanggar konstitusi, MK mengabulkan impeachment tersebut dan
hasilnya diserahkan ke MPR untuk mencabut mandatnya. Sebagai sebuah lembaga
yang dijadikan sebagai pelindung konstitusi MK mempunyai beberapa fungsi yang
meliputi:
a.
Sebagai penafsir konstitusi
Konstitusi tak lain
merupakan sebuah aturan hukum. Sehingga konstitusi merupakan wilayah kerja
seorang hakim. Hakim MK dalam menjalankan kewenangannya dapat melakukan
penafsiran terhadap konstitusi. Hakim dapat menjelaskan makna kandungan kata
atau kalimat, menyempurnakan atau melengkapi, bahkan membatalkan sebuah
undang-undang jika dianggap bertentangan dengan konstitusi.
b.
Sebagai penjaga hak asasi manusia
Konstitusi sebagai
dokumen yang berisi perlindungan hak asasi manusia merupakan dokumen yang harus
dihormati. Konstitusi menjamin hak-hak tertentu milik rakyat. Apabila
legislatif maupun eksekutif secara inkonstitusional telah mencederai konstitusi
maka MK dapat berperan memecahkan masalah tersebut.
c.
Sebagai pengawal konstitusi
Istilah penjaga
konstitusi tercatat dalam penjelasan Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang biasa disebut dengan the guardian of constitution.
Menjaga konstitusi dengan kesadaran hebat yang menggunakan kecerdasan,
kreativitas, dan wawasan ilmu yang luas, serta kearifan yang tinggi sebagai
seorang negarawan.
d.
Sebagai penegak demokrasi
Demokrasi ditegakkan
melalui penyelenggaraan pemilu yang berlaku jujur dan adil. MK sebagai penegak
demokrasi bertugas menjaga agar tercitanya pemilu yang adil dan jujur melalui
kewenangan mengadili sengketa pemilihan umum. Sehingga peran MK tak hanya
sebagai lembaga pengadilan melainkan juga sebagai lembaga yang mengawal
tegaknya demokrasi di Indonesia.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengawasan adalah
proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin
agar semua pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan. Konsep pengawasan yudikatif dalam sistem pengendalian nasional
selalu berbentuk pengawasan fungsional, ektern dan bersifat represif. Mahkamah
Agung (MA) mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan
pengadilan yang berada di lingkungannya serta dapat mengawasi segala bentuk
peraturan yang dibuat oleh pemerintah (yudicial review) yang hierarkinya berada
dibawah Undang-undang. Pengawasan yang dilakukan MA melalui peradilan-peradilan
yang ada dibawahnya yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer,
serta peradilan tata usaha negara. Sedangkan Mahkamah Konstitusi (MK) bertugas
menguji sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik,
dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilu. Hasil putusan MK bersifat
pertama dan final.
3.2 Saran
Untuk menjalankan suatu pemerintahan yang baik
senantiasa memperhati-kan pengawasan yudikatif agar terjadinya check and
balances diantara lembaga peradilan serta lembaga negara lainnya. Dengan adanya
pengawasan yang intens memberikan perlindungan bagi pihak-pihak yang dirugikan
sehingga hukum dapat berlaku adil bagi kehidupan bernegara.
DAFTAR
PUSTAKA
Atmosudirjo, Prayudi 1995, Hukum Administrasi
Negara, Galia Indonesia, Jakarta.
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005,
Aspek-Aspek Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Pers, Yogyakarta.
Indriharto, 1985, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik, Mahkamah Agung, Jakarta.
Lopa B. dan Hamzah, Andi, 1991. Mengenal Peradilan
Tata Usaha Negara. Sinar Grafika, Jakarta.
Muchsan, 2007. Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan
Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara. Liberty (Cetakan keempat),
Yogyakarta.
Soemitro, Rochmat, 1987. Peradilan Tata Usaha
Negara. PT Eresco, Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar