BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang masalah
Filsafat
modern, adalah wacana filsafat yang lahir sebagai respon terhadap Suasana
filsafat sebelumnya. Kefilsafatan sebelum masa modern adalah kefilsafatan yang
bercorak tradisional, yang bisa diartikan “berfilsafat dengan cara-cara lama”,
sebagaimana arti kata tradisional berbanding terbalik dengan arti kata modern
yang mermakna sebagai “sesuatu yang baru”. Makna modern (sesuatu yang baru),
mencakup segenap sendi-sendi kehidupan social dan budaya manusia yang terkait
dengan dimensi materil dan spiritualnya pada seputar bagaimana cara mengetahui
yang benar, kevalidan sesuatu, struktur pengetahuan itu sendiri dan
implementasi nilai-nilai yang terkandung dalam pengetahuan manusia.
Lahirnya
filsafat dalam ruang sejarah manusia tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang
melingkupinya. Demikianpun dengan wacana filsafat modern, selain dapat
diartikan sebagai filsafat yang merespon (mengkritisi, membongkar,
kadang-kadang menguatkan) tradisi dalam kurun waktu tertentu, modern juga
mengandung nilai-nilai kesinambungan yang kontinyu, berdasarkan keadaanya.
Keadaan yang berkembang pada babakan Eropa pertengahan, adalah kuatnya otoritas
agama (gereja), sebagai pengontrol kehidupan masyarakat. Kebebasan berfikir
selalu dibatasi oleh kekuasaan gereja, hingga kondisi ini melahirkan sebuah
kegelisahan intelektual oleh para ilmuan yang bermuara pada lahirnya revolusi
berfikir yang berontak terhadap keadaan tersebut. Suasana ini menjadi latar
sejarah lahirnya filsafat modern yang kelak menjadi penentu bangkitnya Eropa
modern dengan segala aspeknya (renaisance).
Dengan
demikian filsafat modern berarti filsafat yang mengandung kebaruan berdasarkan
waktunya, corak epistemologinya dan dinamika yang terjadi pada seputar
metodologi dan kerakteristiknya.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
latar sejarah filsafat modern dan lahirnya renaisance?
2. Bagaimana
karakteristik filsafat modern?
3. Aliran-aliran
pokok dalam filsafat modern?
1.3
Tujuan
1. Untuk
mengetahui sejarah filsafat modern dan lahirnya
renaisance
2. Untuk
mengetahui karakteristik filsafat modern
3. Untuk
mengetahui Aliran-aliran pokok dalam
filsafat modern
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Latar Sejarah Filsafat Modern
Sejarah
filsafat terdiri dari tiga periode. Periode pertama, adalah periode klasik,
sebagai kelanjutan era kuno yang dimulai dari Athena, Alexsanderia, dan
pusat-pusat pemikiran Helenistik dan Roma. Periode kedua, adalah periode
pertengahan dan periode ketiga, adalah periode modern yang dilanjutkan dengan
periode post-modernisme.
Socrates
masuk pada kategori era klasik bersama para filosof lainnya, semisal Plato yang
menjadi muridnya dan kemunculan Aristoteles sebagai murid dari Plato menjadi
puncak keemasan era filsafat klasik. Filsafat Plato menemukan sebuah realitas
sejati yang disebutnya sebagai dunia ide yang merangkum segala bentuk Kebenaran
berdasarkan ide atau sisi rasionalitas manusia. Baginya realitis fisik adalah
refleksi terhadap dunia ide. Berbeda dengan muridnya, Aristoteles
memperkenalkan paham realisme. Menurutnya realitas adalah benda-benda konkrit
yang menciptakan kesatuan antara bentuk dan subtansi.
Setelah
masa Aristoteles, wacana kefilsafatan menjadi redup.Kerakteristik filsafat
Barat abad pertengahan adalah pembenaran terhadap otoritas Kitab. Salah seorang
yang terkenal pada masa itu adalah Thomas Aquinas (1225-1274 M), K. St. Bona
Venture (1221-1257M). Pemikiran mereka berusaha untuk merekonsiliasi antara
akal dan wahyu.Mereka berusaha menjabarkan dogma-dogma Kristen dengan ajaran
filsafat. Akal pada waktu itu bagaikan hamba perempuan untuk memuaskan nafsu
“kelaki-lakian” teologi Kristen. Seorang tokoh lain yang muncul pada waktu itu
adalah St. Agustinus (1354-1430M) bahkan tidak percaya dengan kekuatan akal
dalam mencari kebenaran apapun. Baginya kebenaran sepenuhnya terbenam, berada
dalam wahyu Tuhan (teks). Singkatnya, pada masa itu, persoalan epistemologi
mengalami kepiluan dan penderitaan di bawah tafsir tunggal para agamawan yang
sekaligus menjadi penguasa politik pada zaman tersebut .
Kekuasaan
keagamaan yang tumbuh berkembang selama abad pertengahan di Eropa tampaknya
menyebabkan terjadinya supremasi Semitik di atas alam pikiran Hellenistik. Di
lain pihak, orang merasa dapat memadukan Hellenisme yang bersifat manusiawi
intelektual dengan ajaran agama yang bersifat samawi-supernatural.Dari sinilah
tumbuh rasionalisme, empirisme, idelisme, dan positivisme yang kesemuanya
memberikan perhatian yang amat besar terhadap problem pengetahuan nonmetafisika
(bukan agama) dan lahirlah babakan baru yakni babak modern yang ditandai dengan
gerakan renaissance yang merentang dari abad 14 M hingga abad 16.
Reneisance
dalam bahasa Prancis dan Inggris berarti kelahiran kembali atau kebangkitan
kembali. Dalam bahasa latin, kata renaissance diidentikkan dengan arti kata,
nascentia, nascor, yang bermakna kelahiran, lahir, dilahirkan.Istilah ini
meliputi suatau zaman di mana setiap orang merasa dilahirkan kembali dalam
keadaban. Zaman tersebut menekankan otonomi atau kedaulatan manusia dalam
berfikir, bereksplorasi, bereksprimen dalam mengembangkan seni sastra dan ilmu
pengetahuan di Eropa. Manifestasi utama dari gerakan ini adalah; gerakan
humanisme, eksistensialisme dan naturalisme dengan menerjemahkan kembali
sumber-sumber Yunani dan Romawi yang mengantar terbukanya pemikiran manusia
terhadap illmu-ilmu baru (modern). Dalam bidang agama istilah renaissance
ditandai dengan terusiknya kemapanan agama Kristen yang mengarah pada reformasi
protestan.
2.2
Karakteristik Filsafat Moderen
Reneisance
Eropa yang mengantar babak modern, memicu berkembangnya filsafat yang bercorak
empirik. Akibatnya metodologipun berkembang ke induksi-eksprimentasi.
Tokoh-tokoh yang membuka jalan ke gerbang ini antara lain adalah, Copernicus,
Kepler, Galileo, Isac Newton dll.
Lahirnya
metodologi baru pada era ini akibat terjadinya pergeseran paradigma filsafat.
Manusia melihat, merasakan dan menyadari adanya potensi pada dirinya untuk
menentukan kebenaran, tolak ukur dan validitasnya lewat metode
penginderaan-observasi, eksprimen terhadap realitas fisik melahirkan cara yang
selanjutnya disebut metode ilmiah. Efek metode ini melahirkan teori holosentris
(Copernicus), Kepler mengganti teologi langit skolastisisme dengan fisika
langit. Demikian juga dengan Galileo yang menurunkan derajat alam sebagai benda
yang memiliki kualitas ketuhanan menjadi benda alam yang matematis-kuantitatif
(profan). Newton, sang jenius, berhasil menumbangkan kosmologi gereja yang
menganut paham teologis-skolastik dengan prinsip determinisme mekanika
universal. Kebebasan dan kreativitas berpikir ini menimbulkan kemarahan pihak
gereja yang merasa otoritasnya terancam sehingga kaum gerejawan memilih jalan
suram dengan menghukum mereka bahkan membunuhnya.
Keberhasilan
ilmu-ilmu empirik yang diraih pada masa Reneisans menjadikan filsafat, terutama
epistemologi rasional-intuitif, mengalami kemunduran. Gereja terjebak dalam
reaksi ekstrim dengan memutuskan kemampuan akal dan ilmu serta membentengi
ajarannya dengan perisai kalbu dan keimanan. Sesuatu yang sangat apologis. Di
sisi lain kegemilangan ilmu-ilmu alam (fisika) dengan Newton sebagai tokoh
utamanya telah membangkitkan semangat empirisme rasional-materialistik dibidang
astronomi, biologi, psikologi, sosiologi, maupun filsafat. Laplace misalnya,
berani mengatakan bahwa teori astronomi yang dibangunnya tidak membutuhkan
hipotesis tentang peran Tuhan untuk menjelaskan asal-usul alam semesta. Begitu
juga Darwin yang menafikan keterlibatan Tuhan dalam kehidupan organis, yang
berjalan sendiri melalui prinsip mekanika hukum evolusi yaitu seleksi alamiah.
Demikian juga dengan Freud yang memandang konsep Tuhan bagi orang-orang
beragama sebagai ide ilusif karena berasal dari imajinasi ketidakberdayaan
manusia dalam menghadapi fenomena yang ada diluar dirinya.Sedangkan bagi
Durkheim, kekuatan supranatural atau hal-hal yang gaib tidak lebih dari
kekuatan-kekuatan listrik yang terkonsentrasi dalam diri manusia, sehingga ia
tidak bercaya pada metafisika atau Tuhan.Menurutnya, yang lebih pantas disebut
sebagai Tuhan adalah masyarakat, karena masyarakat mampu mengakomodasi hal-hal
diyakini sebagai sifat-sifat Tuhan.
Kemudian
tak ketinggalan pula Karl Marx mengatakan agama adalah candu, konsep surga dan
kerajaan Tuhan di akhirat adalah refleksi penderitaan kaum proletar sebagai
manuver kaum borjuis untuk menyembunyikan realitas sosial yang sebenarnya, agar
kedudukan mereka sebagai tuan tanah tetap kukuh dan memonopoli alat-alat
produksi hingga mereka tetap menguasai roda ekonomi sekaligus aman dari
kemarahan kaum proletar.Agama tidak lain dari konstruk borjuis bukan berasal
dari dunia gaib. Demikianlah dampak dari traumatisasi masyarakat Eropa terhadap
agama yang kemudian mencari penenangnya pada ilmu pengetahuan yang berubah
makna tidak lebih sebagai ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial dengan menjadikan
eksprimen dan observasi sebagai pisau analisis metodologis.
Selanjutnya,
Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini telah membangkitkan gerakan
Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia
secara natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme
Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran
sebagai akibat dari pergumulan filsafat modern yang menjadi multi-aplikatif
telah menghasilkan krisis budaya.
Semua
itu menunjukkan bahwa perkembangan filsafat tampaknya berjalan dalam dialektika
antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, yang ditandai dengan lahirnya
aliran-aliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme.
Namun, di samping itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah
selalu pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui,
manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan
kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia.
Peradaban
Eropa modern terbentang mulai dari abad -15 hingga abad ke-19 dengan watak
pemberontakannya terhadap periode pertengahan. Bertrand Russel, sebagaimana
dikutip oleh Rodliyah Khuzai, mengemukakan lima perbedaan antara periode modern
dibanding periode pertengahan.
1. Pertama,
berkurangnya otoritas gereja dan meningkatnya otoritas ilmu.
2. Kedua,
kekuasaan gereja yang semula dominan mulai berkurang dan digantikan fungsinya
oleh raja.
3. Ketiga,
jika abad pertengahan manusia berusaha memahami dunia (theorical science), maka
masa modern manusia berusaha mengubah dunia yaitu (practical Science).
4. Keempat,
jika pada masa pertengahan manusia yang berusaha memahami dunia dan tidak
sesuai dengan isi kitab suci maka akan dihukum. Tetapi pada masa modern
penolakan terhadap kitab suci dianggap sah jika menemukan sebuah teori yang
dilandasi oleh ilmu pengetahuan.
5. Kelima,
kebebasan dari otoritas gereja menimbulkan individualisme atau bahkan
anarkisme.
Berman
mengidentifikasi tiga fase perbedaan secara historis perkembangan modernitas
dari abad ke-13 hingga abad ke-18.
1. Pertama,
pengalaman kehidupan modern.
2. Kedua,
revolusi Prancis dan munculnya pergolakan sosial, politik, serta kehidupan
individu yang berkenaan dengan gelombang revolusi besar pada 1790.
3. Ketiga,
kemudian terjadi peleburan proses modernisasi dan perkembangan budaya dunia
modern yang lebih mempercepat perubahan di bidang sosial dan kehidupan politik
yang berdampak munculnya bentuk pengalaman baru.
Berman
menyoroti modernitas dari sisi gejolak sosial politik yang terjadi. Dia melihat
struktur masyarakat Eropa modern di bangun dari beberapa momen perubahan sosial
politik yang melanda Eropa dari rentang waktu abad 13 Masehi hingga abad 18
Masehi. Gejolak sosial politik diyakini sebagai bagian dari dampak dinamis
prinsip-prinsip perkembangan ilmu pengetahuan.
Modernisasi
juga berhubungan dengan industrialisasi. Ia petunjuk jalan untuk memperlihatkan
kunci bagi modernitasi dalam mengubah kesadaran masyarakat. Dalam artian luas,
modernisasi dapat dipahami sebagai sebuah keberanian dan pengakuan kesadaran
sebagai kekuatan dalam dirinya. Dengan demikian, era modern ditandai dengan
usaha manusia untuk mengoptimalkan potensi diri dalam mengindera, berpikir, dan
melakukan berbagai eksprimen mengelola alam.
Ciri
pengetahuan modern tidak terlepas dari dua aliran besar pemikiran yang dikenal
dengan rasionalisme dan empirisme.Kedua aliran ini, menjadi kerakteristik
epistemologi Barat yang memancing lahirnya pemikiran-pemikiran lain, semisal
kritisme, fenomenologi, positivisme, postpositivisme, strukturalisme,
postrukturalisme, posmoderen hingga teori kritis mazhab Frankfurt. Ragam
kerakteristik pemikiran-pemikiran tersebut sebagai bagian dari gejala
renaisans, dan kaum intelektual Eropa mengalami demam “kontras-paradigmatik”.
2.3
Aliran-Aliran Pokok Dalam Filsafat
Modern
v Rasionalisme
Usaha
kritis dalam filsafat adalah untuk memeriksa kembali nilai pengetahuan manusia.
Hal ini di pandang sebagai usaha manusia untuk membedakan apa yang mantap
dengan apa yang rapuh di dalam keyakinan-keyakinan umum. Namun kesulitannya
adalah menemukan norma untuk melaksanakan pembedaan ini. Apakah ciri hkas dari
pengetahuan yang kokoh yang membedakannya dari pengetahuan yang palsu?Salah
satu usaha radikal dan cerdik untuk menjawab persoalan ini ialah dengan metode
yang dikenal nama metode rasional.
Rasionalisme.
Mazhab ini dipelopori oleh Rene descartes (1596-1650), seorang filosof Prancis
yang digelar sebagai bapak filsafat modern.Setelah lama merenung ia munculkan
untuk menghidupkan kembali pemikiran filsafat idealitas yang berakar pada
idealisme Plato. Ia melahirkan prinsip yang terkenal cagito ergo sum (aku
berpikir maka aku ada). Dalam pencarian pondasi yang kuat bagi pengetahuan, ia
memutuskan untuk tidak menerima kebetulan-kebetulan dan menolak semua yang
tidak pasti.Dalam hal, Kennet T Gallagher menyebutnya sebagai skeptisme
moderat, lawan dari skeptisme absolut dimana Descartes mengistilahkan metodenya
sebagi keraguan metodis Universal. Ia menggunakan keraguan untuk mengatasi
keraguan.[26] Salah satu cara untuk mengetahui sesuatu yang pasti dan tidak
dapat diragukan adalah dengan melihat seberapa jauh sesuatu itu dapat
diragukan.
Menurut
Decartes observasi melalui penginderaan, kadang-kadang menipu manusia,
konsekwensinya manusiapun kadang melakukan kesalahan dalam penalaran. Namun
jika manusia “membuang” semua dimensi inderawinya, maka kalaupun ada, apalagi
yang tersisa? Dia mengatakan;
Kita
harus mengakui benda-benda jasmani ada. Namun, mungkin benda-benda tersebut
tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman
dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan kacau; tetapi kita
sekurang-kurangnya harus mengakui bahwa semua benda yang saya pahami di
dalamnya dengan jelas dan disting...haruslah sungguh-sungguh dipahami sebagai
obyek luar.
Bagi
Descartes dunia yang nampak oleh indera tidak akan mampu memberikan keyakinan
benar, seperti oase di tengan pada pasir. Oleh karena apa yang nampak bahkan
tubuh kita sendiri, nampaknya sangat meragukan, sehingga tidak ada satupun yang
nyata kecuali keraguan itu sendiri.
Ketika
segalanya nampak meragukan, tentu saja saat itu ada sesuatu yang melakukan
tindakan meragu, yaitu “aku” yang sedang ragu, berpikir dan sadar. Inilah
pengetahuan yang terang dan jelas (clara et distincta) kebenaran yang tidak
lagi terbagi. Ide seperti ini ini, clara et distincta, adalah cita-cita
kesempurnaan bagi suatu pengetahuan dan hanya yang tak terbatas yang
menyebabkan ide itu ada dalam diri manusia. Dan yang sempurna itulah tuhan.
Oleh karena itu Tuhan adalah aksistensi yang jelas dengan sendirinya. Dia-lah
yang menjamin keberadaan akal manusia, sehingga kerja akal turut dalam dalam
jaminan Tuhan. Maka konsepsi akal mengenai jumlah, letak dan ukuran, semua
obyek yang bersifat materi pastilah benar. Pada posisi ini manusia mampu
memahami kebenaran secara obyektif.Oleh karena itu rasionalisme Descartes
memandang ilmu pengetahuan bersifat obyektif.
Descartes
mengajukan tiga jenis subtansi dasar yaitu; Tuhan, pikiran dan materi. Tuhan
adalah subtansi utama yang menciptakan dua subtansi yang lain. Pikiran
sesungguhnya adalah kesadaran ia tidak mengambil tempat dalam ruang, karena
tidak dapat dibagi. Sedangkan dunia luar atau badan adalah materi yang
cenderung mengalami perluasan (ekstensa) dan mengambil tempat dalam ruang, karenanya
dapat dipecah menjadi bagian-bagian kecil. Alam atau materi adalah kumpulan
dari bagian-bagian kecil yang bekerja menurut hukum mekanik. Dengan demikian
tubuh manusia, sebagai alam materi, seperti mesin otomatis atau arloji yang
dapat bekerja sendiri meskipun lepas dari pembuatnya.
Secara
demikian Descartes, sebagai tokoh sentral rasionalisme modern, memandang bahwa
alam materi hanya dapat dipahami dengan metode analisis, yaitu mereduksi
realitas material menjadi bagian-bagian kecil dan matematika adalah bahasannya.
Tuhan berlaku sebagai penjamin keberadaan akal dan materi, tuhan menciptakan
alam seperti seorang menciptakan jam yang sekali jadi tidak ada lagi hubungan
dengan penciptanya.Hubungan pencipta dengan yang diciptakan hanyalah berlaku
sebagai hubungan pertama.
Epistemologi
rasionalitas-Cartesian jelas memisahkan antara pengetahuan alam materi dengan
pengetahuan alam metafisik. Alam materi hanya dapat diperoleh melalui analisis,
eksprimentasi, sedangkan kebenaran tentang Tuhan atau kebenaran yang bersifat
metafisik berhenti secara sederhana. Tuhan tetap aman pada tempatnya sebagai
pencipta, selain itu tidak ada “tempat” untuk Tuhan. Mengenai hal ini Kennet T
Gallagher menyebut pandangan Descartes sebagai pandangan dikotomis yang dilain
sisi menegaskan pandangan mekanis mengenai alam semesta yang memungkinkan
kemajuan pesat di dalam sains, tetapi memperlakukan manusia seperti “hantu yang
merasuki sebuah mesin” yang bekerja dengan hukum mekanika mesin.Pada realitas
ini, Descartes menimbulkan masalah lain yaitu tentang akal budi manusia yang
sangat rumit, terkait dengan segala dimensi idealitasnya.
Selain
Descartes, rasionalisme abad 17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti Spinoza
(1632-1677), Lebnis (1648-1716). Kebanyakan para filosof rasionalis tertap
mempertahankan eksistensi Tuhan, walaupun tetap terjadi pemisahan radikal
antara alam dengan Tuhan.
v Empirisme
Empirisme
pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada
awal-awal abad ke-17. Ia bermaksud meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama
karena dipandang tidak memberi kemajuan tidak mem- beri hasil yang bermanfaat,
dan tidak memberikan hal-hal yang baru bagi kehidupan. Akan tetapi perkembangan
pemikiran empirisme ini di desain secara lebih sistemik oleh John Locke yang
kemudian dituangkan dalam buku- nya “Essay Concerning Human Understanding
(1690)”.John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah
ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa
pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi.
Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara
mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan seluruh indra
manusia.John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi
dan batin.
Menurut
John Locke ide dalam benak manusia didapatkan melalui pengalaman atau
aposteriori. Ide manusia lalu terbagi dua yaitu ide sederhana dan ide kompleks.
Ide sederhana didapatkan melalui penginderaan yang disebut sensasi, sedangkan
ide kompleks ialah refleksi terhadap ide sederhana yang kemudian membentuk
persepsi. Pengetahuan yang rumit harus dapat dilacak kembali pada penginderaan
yang sederhana, jika tidak akan beresiko menjadi pengetahuan yang keliru,
karenanya harus ditolak.
Bagi
Locke persepsi manusia dapat membedakan dua kualitas pada benda, yaitu kualitas
primer dan kualitas sekunder. Kawalitas primer bersifat riil yang terdapat pada
benda itu sendiri, seperti; kepadatan, keluasan, bentuk, gerak, berat, jumlah
dan lain-lain.ide yang timbul dari kualitas primer merepresentasikan benda
secara akurat, kualitas inilah yang merupakan bagian esensial dalam
kerakteristik kebenaran pengetahuan. Karena itu ilmu bersifat obyektif yang
dikarenakan berdasarnya nilai pada indera yang merefleksikan kualitas primer
pada benda. Selain kualitas primer ide juga merupakan kualitas lain ketika
mempersepsi kualitas sekunder seperti, warna, bau, rasa, suara, yang bergantung
pada kemampuan persepsi manusia, karena tidak menggambarkan realitas sejati dan
mungkin saja meleset sehingga tidak terjamin kebenarannya. Oleh karena itu ide
yang muncul dari kualitas sekunder bersifat subyektif. Berdasarkan pemahaman
ini maka pengetahuan manusia tentang Tuhan dengan sendirinya bersifat
subyektif. Karena berdasarkan teori ini, ide tentang Tuhan dapat dirasakan
melalui eksistensi diri, bahwa diri manusia adalah sesuatu yang ada. Sesuatu
yang ada hanya tercipta dari keabadian dan ketiadaan tidak mungkin
mengahasilkan sesuatu. Pengetahuan manusia yang bersumber dari eksistensi
dirinya bermula dari eksistensi yang lebih luas atau eksistensi abadi dan
inilah yang disebut Tuhan. Namun sayangnya pengetahuan manusia mengenai
eksistensi tergolang dalam kualitas sekunder, dimana kualitas sekunder mungkin
saja keliru. Karena itu meskipun metode Locke mengakui ide tentang Tuhan namun
ide tersebut sangatlah samar dan meragukan. Hanya sains yang jelas dan terang
serta pasti, karena berangkat dari kualitas primer yang mengambarkan dunia
materi secara akurat meskipun dunia yang digambarkan adalah dunia yang tak
bernyawa dan tidak berbeda dari mesin.
Filsuf
empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi
(a bundle or collection of perception). Manusia hanya mampu menangkap
kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan.
Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi.
Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula
dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua
kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu
ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak
ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh
manusia merupakan kumpulan persepsi saja.
v Kritisme
Skeptisme
yang dibangun oleh Hume secara perlahan mengilhami munculnya pemikiran kritis
asal jerman bernama Immanuel Kant (1724-1804). Dalam sebuah pengakuannya Kant
menyataklan bahwa Hume-lah yang membangunkannya dari ketidak sadaran dogmatis
yang dialaminya.Mulanya Kant mengaku rasionalisme lalu kemudian empirisme
datang mempegaruhinya. Namun Kant tidak sepenuhnya di bawah pengaruh empirisme
dan tidak menerima metodenya dengan begitu saja, karena dia menganggap
emperisme membangun keraguaan terhadap akal budi. Walaupun dia mengakui
kebenaran pengatahuan indera sambil tetap juga mengakui kebenaran akal budi,
tetapi syarat-syaratnya harus tetap dicari, yaitu dengan menyelidiki atau
mengkritik pengetahuan akal budi dan akan diterangkan apa sebabnya, dengan
demikian pengetahuan menjadi mungkin, itulah sebabnya mengapa aliran Kant
disebut kritisme.
Kant
merupanya menggabungkan empirisme dan rasioaliosme dengan mencari sintesis
antara keduanya. Dalam pandangan Kant, manusia tidak dapat mengetahui dunia
hanya dengan nalar dan observasi. Kemampuan manusia terbatas dalam memahami
hakekat dunia, tetapi tidak berarti dunia tidak dapat dipahami oleh manusia.
Pengakuan keterbatasan ini dikemukakan Kant lewat teori kritiknya, yaitu;
usaha-usaha untuk meninjau batas-batas pengetahuan manusia lewat realitas.
Menurutnya realitas memiliki hal empirik dan transendental. Sesuatu yang
transendental adalah sesuatu yang pasti kebenarannya, sehingga ia bersifat
laten dan harus diterima tanpa ada kritikan. Oleh karena itu ia berada diluar
tapal batas pengetahuan manusia, yang oleh Khan disebut noumena. Akan tetapi
yang transendental itu memililki refleksi empirik, yaitu apa yang nampak
sebagai citra dari noumena dan dapat diketahui manusia sebagai fenomena.
Pengetahuan
adalah tidak lebih dari sebentuk keputusan yang terdiri dari pengetahuan
apriori dan pengetahuan apestriori. Pengetahuan apriori terlepas dari pengalaman
yang disebut sebagai keputusan analitik. Pengetahuan apestriori bersumber dari
indera yang menghasilkan keputusan sintesis. Menurut Khan, pengetahuan analitik
tidak memajukan ilmu pengetahuan karena penemuan-penemuan baru tidak dapat
menemuikan jalan untuk berhubungan untuk berhuungan dengan dunia materi.
Sebaliknya pengetahuan sintetis melalui indera tidak mempunyai validitas ilmiah
karena indera hanya berhubungan dengan sesuatu yang tunggal dan terpisah. Oleh
karena itu Khan mencoba meakukan terbosan baru yaitu adanya pernyataan sintetik
yang bersifat opriori. Teori mengatakan bahwa benak manusia tidak hanya
bersifat fassif menerima data-data inderawi, tetapi justru aktif, memaksakan
strukturnya kedata-data inderawi.
Berpikir
menurut Khan tidak hanya menerima kesan inderawi, tetapi juga membuat keputusan
tentang apa yang kita alami. Pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama
dalam benak; pertama, fakultas pencerapan, kedua, fakultas pemahaman yang
membuat keputusan pada data indera dan diperoleh melalui fakultas pertama.
Fakultas pencerapan menerima data inderawi dan menatanya dengan kategori ruang
dan waktu, sedangkan fakultas pemahaman menyatakan pengalaman yang diterima
pencerapan, melalui kategori-kategori apriori untuk ditata higga menjadi
keputusan. Kategori yang dimaksud ialah kuantitas, kualitas, rasio dan
modalitas.
Karena
bentuk-bentuk intelektual ini adalah apriori, ia mempuanyai sifat universal dan
pasti. Kategori-kategori tersebut merupakan syarat apriori yang memungkinkan
suatu keputusan tentang obyek. Pikiran manusia mampu mengetahui benda-benda
sebagaimana ia nampak sesuai dengan kategori atau bentuk-bentuk intelektual,
tetapi Ia tidak dapat sampai pada hakekat pengetahuan tentang obyek. Kant
berpendapat bahwa pengetahuan tidak perlu melampaui pengalaman, karena
penampakan obyek indera menjadi wilayah obyektif yang akan menyatakan
pengetahuan ilmiah. Dengan mengetahui keteraturan pada dunia eksternal melalui
kategori-kategori, manusia akan mengetahui secara akurat mengenai obyek
sebagaimana adanya hingga fakta dapat dipahami.Dengan demikian pengetahuan
bersifat obyektif karena benak manusia mampu memahaminya secara benar melalui
kategori-kategori yang bersifat pasti.
Pemikiran
yang dikembangkan oleh Khan jelas memisahkan antara fenomena dan neomena antara
dunia materi dan dunia metafisika, serta antara akal dan Tuhan. Manusia hanya
akan mampu menangkap fenomena melalui dunia materi, sedangkan nomena dan
metafisika tidak dapat dipahami. Begitu pula halnya akal dan kebebasannya, tidak
mungkin memahami Tuhan sebab paradigma ilahiyah hanya dapat diyakini melalui
moral berdasarkan perasaan.
Ciri
pokok filsafat modern adalah:
·
Pertama, bebas nilai, subyek peneliti
harus mengambil jarak dari semesta dan bersikap imparsial-netral.
·
Kedua, fenomenalisme, yaitu pengetahuan
yang absah hanya berfokus pada fenomena alam semesta, sehingga
proposisi-propososi metafisika seperti “keberadaan Tuhan” ditolak mentah-mentah
karena ia adalah proposisi tak berarti, tidak masuk akal, sebab tidak ada pembuktian
indrawinya, oleh karena itu Tuhan dan wacana-wacana spritual dalam kacamata
positivisme dianggap nonsense.
·
Ketiga, nominalisme. Kenyataan
satu-satunya adalah individual partikuler, sedangkan unversalisme adalah
penamaaan semata.
·
Keempat, reduksionisme. Semesta
direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi.
·
Kelima naturalisme. Peristiwa-peristiwa
alam adalah keteraturan yang menisbikan penjelasan adikodrati.
·
Keenam, mekanisme. Semua gejala-gejala
alam bekerja secara determinis-mekanis seperti mesin.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Filsafat
Modern, dimana Istilah modern berasal dari kata latin “moderna” yang artinya
“sekarang”, “baru” atau “saat kini”. Dari pengertian dasar tersebut kita dapat
mengasumsikan bahwa didalam kehidupan modern muncul kesadaran waktu akan era
yang baru.
Pada
zaman modern filsafat dari berbagai aliran muncul. Pada dasarnya corak
keseluruhan filsafat modern itu mengambil warna pemikiran filsafat sufisme
Yunani, sedikit pengecualian pada Kant. Paham – paham yang muncul pada
garis besarnya adalah rasionalisme,
idealisme, dan empirisme. Dan paham-paham yang merupakan pecahan dari aliran
itu.
Descartes,
Spinoza, Leibniz, Kant, Hegel, August Comte dan John Dewey adalah beberapa nama
dari ahli-ahli yang mempelopori dan mendukung teori-teori aliran filsafat
modern. Selain nama-nama tersebut, masih banyak ahli yang turut berpartisipasi
mendukung teori yang lahir di zaman filsafat modern.
Filsafat
yang lahir di zaman sekarang, sebenarnya tidak berbeda jauh dari filsafat zaman
modern. Karena pada dasarnya, filsafat yang muncul di masa sekarang merupakan
pengembangan dari ajaran filsafat yang telah ada di zaman filsafat modern, dan
kini mengalami sintesis yang menjadikan jumlahnya menjadi relative lebih
sedikit daripada aliran filsafat zaman modern.
3.2
Saran
Demikianlah
makalah ini telah selesai ditulis namun penulis menyadari masih ada kekurangan
yang harus dilengkapi. Makalah itu penulis berharap kritik dan saran dari para
pembaca. Berdasarkan studi pustaka yang penulis lakukan, penulis menyaran agar
diperjelasnya penentuan dimulainya periode filsafat modern agar ketika ada
studi pustaka tentang filsafat modern ini tidak akan ada lagi kebingungan
karena adanya perbedaan tentang waktu kapan dimulainya peride fisafat modern.
DAFTAR
PUSTAKA
http://munzaro.blogspot.com/2010/06/mengenali-prinsip-prinsip-dasar.html
http://amma06.blogspot.com/2009/02/tokoh-tokoh-filsafat-modern.html
http://samikanginkauh.blogspot.com/2012/01/makalah-filsafat-modern.html
http://afhie-cirebon.blogspot.com/2011/10/makalah-filsafat-modern.html
http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2009/02/filsafat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar