BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakag
Setiap orang mempunya hak dan
kewajiban. Yang mana hak adalah sesuatu yang harus ia peroleh dan kewajiban
adalah sesuatu yang harus ia lakukan.
Berbicara mengenai hak, sudah tidak
asing lagi di telinga kita istilah Hak Asasi Manusia. Sedangkan Hak Asasi
Manusia itu sendiri merupakan hak-hak yang melekat pada manusia, sebagai
anugerah yang diberikan Tuhan yang harus dihormati oleh semua orang dan negara.
Jadi hak itu harus ia peroleh agar ia dapat menjalani kehidupannya dengan
tenang dan damai tanpa adanya gangguan dari pihak manapun.
Kemunculan aturan Hak Asasi Manusia
sebagai mana wujud dari upaya penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak
yang dimiliki oleh manusia. Hal ini karena muncul begitu banyaknya pelanggaran
yang terjadi, seperti kekerasan, perbudakan, pembunuhan dan lain sebagainya
baik yang dilakukan oleh individu ataupun negara.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang
apakah HAM itu, bagaimana pemikiran-pemikiran dalam perkembangannya, mari kita
lihat dalam uraian di bawah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia?
2. Bagaimana
perkembangan pemikiran HAM di Eropa?
3. Bagaimana
perkembangan pemikiran HAM di Indonesia?
4. Apa
sajakah bentuk-bentuk dari HAM?
5. Bagaimana
HAM dalam konstitusi di Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
apa yang dimaksud dengan HAM, bagaimana perkembangan pemikirannya,
bentuk-bentuk HAM, dan HAM dalam konstitusi di Indonesia.
2. Melengkapi
tugas individu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
3. Merevisi
makalah dari kesalahan-kesalahan sebelumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian HAM
Secara definitif “hak” merupakan
unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman dalam berperilaku, melindungi
kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga
harkat dan martabatnya, dengan unsur-unsurnya sebagai berikut:
a. Pemilik
hak;
b. Ruang
lingkup penerapan hak;
c. Pihak
yang bersedia dalam penerapan hak.
Hak adalah sesuatu yang harus
diperoleh. Untuk memperolehnya terdapat dua teori yaitu:
·
Teori McCloskey, menyatakan bahwa
pemberian hak adalah untuk dilakukan, dimiliki, dinikmati atau sudah dilakukan.
·
Teori Joel Feinbrg, menyatakan bahwa
pemberian hak penuh merupakan kesatuan dari klaim yang absah (keuntungan yang
didapat dari pelaksanaan hak yang disertai pelaksanaan kewajiban). Hak dan
kewajiban adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Sedangkan istilah yag dikenal di
barat mengenai Hak-hak Asasi Manusia ialah “right of man”, yang menggantikan
istilah “natural right”. Kemudian “right of man” diganti dengan istilah “human
right” yang dipandang lebih netral dan universal.
Ø Menurut Teaching Human Right
Hak
asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang
tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
Ø Menurut John Locke
HAM adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati.
Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang
dapat mencabut hak asasi setiap manusia. HAM adalah hak dasar setiap manusia
yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa; bukan pemberian
manusia atau lembaga kekuasaan.
Ø Menurut Prof. Dr. A. Gunawan
Setiardja
HAM
adalah hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, jadi hak-hak
yang dimiliki manusia sebagai manusia.
Ø Menurut UU no. 39 tahun 1999
HAM
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan di lindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat martabat manusia.
Dari
beberapa pengertian mengenai HAM di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa HAM
adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang bersifat kodrati sebagai
anugerah Tuhan dan hak-hak itu harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh siapa
pun. Penghormatan dan perlindungan terhadap HAM diwujudkan dengan menjaga
keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui keseimbangan antara hak dan
kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan
umum.
2.2 Perkembangan Pemikiran HAM
Berbicara
mengenai keberadaan HAM tidak terlepas dari pengakuan terhadap adanya hukum
alam (natural law) yang menjadi cikal bakal bagi kelahiran HAM.
Perkembangan HAM di Eropa
a. Sebelum Deklarasi Universal HAM 1948
Wacana
awal HAM di Eropa diawali dengan lahirnya Magna Charta telah menghilangkan hak
absolut raja[4] yang membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja.
Kekuasaan absolut raja seperti menciptakan hukum tetapi tidak terkait dengan
peraturan yang mereka buat menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus
dipertanggungjawabkan secara hukum.
Lahirnya
Magna Charta merupakan cikal bakal lahirnya monarki konstitusional. Keterikatan
penguasa dengan hukum dapat dilihat pada Pasal 21 Magna Charta yang menyatakan
bahwa “ para Pangeran dan Baron dihukum atau didenda berdasarkan atas kesamaan,
dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya.[5]
Empat abad kemudian, tepatnya pada 1689,
lahir Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) di Inggris. Pada masa itu pula
muncul istilah equality before the law, kesetaraan manusia di muka hukum.
Pandangan ini mendorong timbulnya wacana negara hukum dan negara demokrasi pada
kurun waktu selanjutnya. Menurut Bill of Rights, asas persamaan manusia di
hadapan hukum harus diwujudkan betapa pun berat rintangan yang dihadapi, karena
tanpa hak persamaan maka hak kebebasan mustahil dapat terwujud. Untuk
mewujudkannya maka lahirlah sejumlah istilah dan teori sosial yang identik
dengan perkembangan dan karakter masyarakat Eropa, dan selanjutnya Amerika.
2.3 Perkembangan HAM di Indonesia
1. Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)
Perkembangan HAM di Indonesia
muncul dengan lahirnya beberapa organisasi pergerakan nasional, antara lain
Budi Utomo yang menyerukan kebebasan. Dalam konteks pemikiran HAM Budi Utomo
telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat
melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun yang
dimuat surat kabar Goeroe Desa.
Selanjutnya pemikiran HAM pada
Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi oleh para tokoh organisasi seperti
Mohammad Hatta, Nazir Pamonjak, Ahmad Soebardjo, A. A. Maramis dsb. Pemikiran
para tokoh tersebut lebih menitik beratkan pada hak untuk menentukan nasib
sendiri.
Kemudian Serikat Islam, organisasi
kaum santri yang dipelopori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis, menekankan pada
usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan
dan diskriminasi sosial.
Sedangkan pemikiran HAM dalam
pandangan Partai Komunis Indonesia sebagai partai yang berlandaskan paham
Marxisme lebih condong pada hak-hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu
yang berkenaan dengan alat produksi.
Pemikiran HAM yang paling menonjol
pada Indische Partij yaitu pemikiran yang menekankan pada hak untuk mendapatkan
kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan
yang sama dan hak kemerdekaan.
Pemikiran HAM sebelum Indonesia
merdeka juga terjadi dalam perdebatan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan
Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin di pihak lain. Perdebatan ini berkaitan
dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak dan untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat,
hak berkumpul, hak mengeluarkan pendapat, hak mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan. Dengan demikian gagasan pemikiran HAM di Indonesia telah menjadi
perhatian besar dari para tokoh pergerakan bangsa dalam rangka penghormatan dan
penegakan HAM, karena itu HAM di Indonesia mempunyai akar sejarah yang kuat.
2. Periode Setelah Kemerdekaan
Pada periode awal pasca kemerdekaan
masih menekankan pada wacana hak untuk merdeka, berserikat melalui organisasi
politik yang didirikan, dan kebebasan menyampaikan pendapat terutama dalam
parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah
memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi) yaitu
UUD 1945. Komitmen terhadap HAM pada awal kemerdekaan sebagaimana ditunjukkan
dalam Maklumat Presiden tanggal 1 November 1945 yang menyatakan:
“... sedikit hari lagi kita akan
mengadakan pemilihan umum bukti bahwa bagi kita cita-cita dan dasar kerakyatan
itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan negara kita.
Mungkin sebagai akibat dari pemilihan itu pemerintah akan berganti dan UUD kita
akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak.”
Hal yang sangat penting kaitannya
dengan HAM adalah dengan adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap
sistem pemerintah dari sistem presidensil menjadi parlementer.
b. Periode 1950-1959
Pemikiran HAM pada periode ini
mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan karena
demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Menurut
Prof. Bagir Manan, masa gemilang sejarah HAM Indonesia pada masa ini tercermin
pada lima indikator HAM:[7]
1. Munculnya partai-partai politik dengan
beragam ideologi.
2. Adanya kebebasan pers.
3. Pelaksanaan pemilihan umum secara aman,
bebas dan demokratis.
4. Kontrol parlemen oleh eksekutif.
5. Perdebatan HAM secara bebas dan demokratis.
c. Periode 1959-1966
Periode ini merupakan berakhirnya
Demokrasi Liberal, digantikan oleh Demokrasi Terpimpin yang berpusat pada
kekuasaan presiden Soekarno.
Melalui sistem Demokrasi Terpimpin
kekuasaan terpaut pada presiden Soekarno. Presiden tidak dapat dikontrol oleh
parlemen dan bahkan sebaliknya. Akibat langsung dari model pemerintahan yang
sangat individual ini adalah pemasungan hak-hak asasi warga negara. Semua
pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan kebijakan
pemerintah yang otoriter.
2.4 Bentuk-Bentuk HAM
Menurut Prof. Bagir Manan ada
beberapa kategori bentuk-bentuk HAM, yaitu:[9]
·
Hak sipil
Hak sipil terdiri dari hak
diperlakukan sama di muka hukum, hak bebas dari kekerasan, hak khusus bagi
kelompok anggota masyarakat tertentu, dan hak hidup dan kehidupan.
·
Hak politik
Hak politik terdiri dari hak
kebebasan berserikatkan berkumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan pemikiran
dengan lisan dan tulisan, dan hak menyampaikan pendapat di muka umum.
·
Hak ekonomi
Hak ekonomi terdiri dari hak
jaminan sosial, hak perlindungan kerja, hak perdagangan, dan hak pembangunan
berkelanjutan.
·
Hak sosial dan budaya
Hak sosial budaya meliputi hak
memperoleh pendidikan, hak kekayaan intelektual, hak kesehatan, dan hak
memperoleh perumahan dan pemukiman.
Menurut
Prof. Baharuddin Lopa, HAM dibagi dalam beberapa jenis yaitu:
1. Hak persamaan dan kebebasan;
2. Hak hidup;
3. Hak memperoleh perlindungan;
4. Hak penghormatan pribadi;
5. Hak menikah dan berkeluarga;
6. Hak wanita sederajat dengan pria;
7. Hak anak dari orang tua;
8. Hak memperoleh pendidikan;
9. Hak kebebasan memilih agama;
10. Hak kebebasan bertindak dan mencari suaka;
11. Hak untuk bekerja;
12. Hak memperoleh kesempatan yang sama;
13. Hak milik pribadi;
14. Hak menikmati hasil/produk ilmu;
15. Hak tahanan & narapidana;
Sedangkan dalam Deklarasi Hak Asasi
Manusia Sedunia (Universal Declaration of Human Right) yang terwujud pada 10
Desember 1948[11], Hak Asasi Manusia terbagi dalam beberapa jenis, yang
terdapat dalam pasal 3 sampai dengan pasal 21 yaitu:
·
Hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan
pribadi;
·
Hak bebas dari perbudakan dan
penghambaan;
·
Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan
maupun hukuman yang kejam, tak berperikemanusiaan ataupun merendahkan derajat
kemanusiaan;
·
Hak untuk memperoleh pengakuan hukum di
mana saja secara pribadi;
·
Hak untuk pengampunan hukum secara
efektif;
·
Hak bebas dari penangkapan, penahanan
atau pembuangan yang sewenang-wenang;
·
Hak untuk peradilan yang independen dan
tidak memihak;
·
Hak untuk praduga tidak bersalah sampai
terbukti bersalah;
·
Hak bebas dari campur tangan yang
sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal maupun
surat-surat;
·
Hak bebas dari serangan terhadap
kehormatan dan nama baik;
2.5 HAM
dalam Konstitusi Indonesia
Dalam perkembangan kehidupan
berbangsa, konstitusi merupakan pilihan terbaik dalam memberi ikatan ideologis
antara yang berkuasa dan yang dikuasai (rakyat).konstitusi hadir sebagai kata
kunci kehidupan masyarakat modern. Tidak dapat dinafikan konstitusi sebagai
hukum dasar yang menjadi acuan bagi sebuah negara dalam menentukan suatu
peraturan.
1.
Hak Konstitusi
Kehadiran
konstitusi merupakan conditio sine qua non bagi sebuah negara. Konstitusi
menjelaskan tentang mekanisme lembaga-lembaga negara dan mengemukakah letak
rasional dan kedudukan hak dan kewajiban warga negara.
Aksioma
politik yang populer dicetuskan oleh Acton mengatakan, “kekuasaan cenderung
korupsi dan kekuasaan yang mutlak akan cenderung secara mutlak pula”. [16]
Di
dalam kekuasaan terdapat sisi positif dan negatif. Yang positif, kekuasaan yang
baik sangat efektif dalam menegakkan hukum dan keadilan, sedangkan negatifnya
ketika kekuasaan itu diarahkan pada tindak kesewenang-wenangan dan kezaliman.
Menurut
Sri Soemantri, Guru Besar UNPAD, negara dan konstitusi merupakan dua lembaga
yang tidak dapat dipisahkan. Konstitusi merupakan awal bagi kelahiran sebuah
negara.
Pentingnya
jaminan konstitusi atas HAM membuktikan komitmen atas sebuah kehidupan
demokratis yang berada dalam payung negara hukum. Menurut Todung Mulya Lubis
Indonesia belum sampai ke arah itu, meskipun persoalan dan perlindungan
mengenai HAM telah diatur dalam perundang-undangan seperti. Akan tetapi patut
dicamkan bahwa hal tersebut hanya berkisar dalam kapasitasnya sebagai hak-hak
hukum.
2. Konstitusional HAM di Indonesia
Dalam konteks UUD yang pernah
berlaku di Indonesia, pencantuman secara eksplisit seputar HAM muncul atas
kesadaran dan beragam konsensus. Dalam kurun berlakunya UUD 45, konstitusi RIS
49, UUDS 50, UUD 45, dan Amandemen ke empat UUD 45 tahun 2002, pencantuman HAM
mengalami pasang surut.
Istilah HAM tidak ditemukan dalam
UUD 1945. HAM dalam UUD 1945 diatur secara singkat dan sederhana yang lebih
berorientasi pada hak sebagai warga negara, yang hanya dimuat dalam 5 pasal,
yakni pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 31, dan pasal 34. Sedangkan dalam
Konstitusi RIS 1949, pengaturan HAM terdapat dalam bagian V yang berjudul
“hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia”. Dan yang terlengkap terdapat
dalam UUDS 1950 memuat pasal-pasal tentang HAM yang relatif lebih lengkap
ketentuan HAM diatur dalam bagian V (hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar
manusia) dari pasal 7 sampai pasal 33.
Dalam sejarah perkembangan UUD
1945, agenda perubahan UUD merupakan sejarah baru bagi masa depan konstitusi
Indonesia.
Konstitusi RIS 1949 (1949-1950)
memberikan suasana baru bagi penegakan hukum dan HAM. Karena dalam
pemberlakuannya yang relatif singkat, akibatnya upaya penegakan HAM dari
konstitusi ini relatif sulit ditemukan. UUDS 1949 memberikan kepastian tegas
tentang HAM. Materi muatan HAM, yang mengadopsi muatan HAM PBB tahun 1948.
Sama halnya dengan konstitusi RIS
1949, UUDS 1950 nyaris tidak efektif karena negara pada waktu itu disibukkan
dengan kondisi perpolitikan tanah air.
Dalam perkembangan kebijakan
pemerintahan Orde Baru sampai Reformasi (sebelum dan sesudah perubahan II UUD
1945 tahun 2000), beberapa perangkat kebijakan peraturan perundang-undangan
dapat dikatakan melengkapi pengaturan HAM di Indonesia dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, seperti Tap MPR, Undang-Undang, Keppres, dsb.[17]
Untuk mempertegas jaminan atas HAM
di Indonesia, maka dibentuk lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) berdasarkan pada Tap MPR No. XVII tahun1998 tentang HAM dan UU No. 39
tahun 1999 tentang HAM yang disahkan pada 23 September 1999.
Keterjaminan HAM dalam konstitusi
di Indonesia dan peraturan perundang-undangan secara lebih baik akan menjadi
peluang besar bagi terwujudnya penegakan hukum dan HAM secara bertanggung jawab
dan berkeadilan.
3. RANHAM (Rencana Aksi Nasional HAM) Indonesia
Konsep RANHAM pertama kali lahir pada
Konferensi HAM di Wina tahun 1993. Deklarasi tentang HAM ini merekomendasi agar
setiap negara menyatakan keinginannya untuk menyusun rencana aksi nasional
dengan mengidentifikasi langkah-langkah untuk meningkatkan pemajuan dan
perlindungan HAM. Rekomendasi ini tidak mengikat tetapi memiliki sifat
persuasif yang sangat kuat karena pentingnya kesempatan dan pernyataan bahwa
rekomendasi tersebut didukung secara bulat.
Konsep RANHAM didasarkan atas
pandangan bahwa perbaikan abadi pada hak asasi manusia akhirnya tergantung pada
pemerintah dan orang-orang dari negara tertentu yang memutuskan untuk mengambil
aksi nyata guna menghasilkan perubahan. Konsep ini mengakui bahwa tidak ada
satu pun negara yang memiliki catatan HAM sempurna. Setiap negara berbeda-beda,
dan rencana apapun yang dikembangkan oleh suatu negara harus sesuai dengan
keadaan politik, budaya, hukum, sosial, dan ekonomi.
Dalam diktumnya, Keppres menjamin
peningkatan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan HAM dengan
mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat istiadat dan budaya-budaya bangsa
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Dengan ditetapkannya RANHAM
berdasarkan Keppres Nomor 40 tahun 2004, merupakan kelanjutan RANHAM 1998-2003
yang dicanangkan Presiden B.J Habibi melalui Keppres Nomor 29 tahun 1998, yang
semula memuat empat program utama, yaitu:[18]
1) Persiapan pengesahan perangkat internasional
HAM
2) Diseminari dan pendidikan HAM
3) Pelaksanaan HAM yang ditetapkan sebagai
prioritas
4)
Pelaksanaan isi atau ketentuan berbagai perangkat internasional HAM yang telah
disahkan Indonesia.
Berdasarkan Keppres No. 129 tahun
1998 tentang RANHAM di atas perlu rekayasa khusus dalam upaya pengembangan
mengenai HAM, yang kemudian diperbaharui melalui Keppres No. 61 tahun 2003
tentang perubahan keputusan presiden. Dan yang terakhir Keppres No. 40 tahun
2004 telah digariskan bahwa di samping terbentuknya Panitia Nasional yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab pada Presiden, juga Menteri
Kehakiman dan HAM selaku Ketua Panitia Nasional bersama Gubernur di setiap
Provinsi membentuk Panitia Pelaksanaan RANHAM Provinsi yang bertanggung jawab
kepada Gubernur dan Panitia Nasional. Begitu juga halnya di daerah
kabupaten/kota dibentuk Panitia Pelaksana Kegiatan RANHAM Kabupaten/Kota yang
bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota dan Panitia Pelaksana Provinsi.
Dengan kata lain, melalui Keppres ini
Panitia Pelaksana RANHAM harus dibentuk di level daerah, baik dalam skala
Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Panitia ini memiliki tugas antara lain:
1. Pembentukan dan penguatan institusi RANHAM,
2. Persiapan harmonisasi Peraturan Daerah,
3. Diseminari dan pendidikan HAM,
4. Penerapan norma dan standar HAM, dan
5. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
Perkembangan mengenai HAM
menunjukkan sebuah rekayasa yang begitu baik dalam upaya penegakan HAM.
Konstitusionalitas HAM dalam konstitusi Indonesia semakin kokoh pasca Perubahan
UUD 1945. Perkembangan ini diharapkan semakin meneguhkan dasar pembangunan
nasional yang berdimensi HAM Indonesia.
Dan dengan melalui pemikiran dan
tindakan kita semua, terletak masa depan perlindungan, pemenuhan, pemajuan, dan
penegakan HAM di Indonesia. Kehadiran RANHAM harus dipahami sebagai keharusan
sejarah dalam mengisi ruang aktualisasi HAM dalam konteks lokal negara-negara,
tidak terkecuali Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak
yang melekat pada setiap manusia yang bersifat kodrati sebagai anugerah Tuhan
dan hak-hak itu harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh siapa pun.
Perkembangan pemikiran HAM di Eropa
diawali dengan lahirnya Magna Charta telah menghilangkan hak absolut raja yang
membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja. Kekuasaan absolut
raja seperti menciptakan hukum tetapi tidak terkait dengan peraturan yang
mereka buat menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggungjawabkan
secara hukum.
Perkembangan pemikiran HAM di
Indonesia ditandai dengan munculnya berbagai organisasi dan politik seperti,
Budi Utomo, Indiche Partij, Partai Komunis, Serikat Islam dsb.
3.2 Saran
Upaya
agar sadar akan pentingnya Hak Asasi Manusia, maka penulis memberikan
saran-saran sebagai berikut:
1. Sebagai
makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita
sendiri.
2. Kerjasama
antara Pemerintah daerah dan warga masyarakat Daerah perlu ditingkatkan.
3. Kita
harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan
pelanggaran HAM dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh
orang lain
4. Pemerintah
khususnya pihak kepolisian harus bisa menjadi sarana dalam menyelesaikan
masalah pelanggaran HAM.
DAFTAR
PUSTAKA
Arinanto,
Satya, Dimensi-Dimensi HAM, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Azra,
Azyumardi, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003.
Muladi,
Hak Asasi Manusia; hakikat konsep dan implikasinya dalam Perspektif hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Editama,
2005.
Rozaq,
Abdul, Pendidikan Kewargaan, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Setiardja,
A. Gunawan, Hak-Hak Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Yogyakarta: KANISIUS, 1993.
Ubaidilah
A., Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar